Altar dan Pasar: Renungan Pesta Santo Gregorius, Edisi Kamis, 03 September 2020
*P. Steph Tupeng Witin, SVD
Bacaan I: 1Korintus 3:18-23
Bacaan
Injil: Lukas 5:1-11
Foto: dok. pribadi |
Tuhan Yesus lagi
di pantai danau Genesaret. Bukan karena lagi off dalam tugas pelayanan sehingga
mau rileks bersama Petrus dan teman-temannya dengan memancing ikan di danau. Ia
justru lagi di kerumuni orang banyak yang hendak mendengarkan firman Allah.
Maka Ia pun tak membuang kesempatan itu untuk mengajar.
Menurut catatan
Lukas, Ia naik ke dalam perahu Simon. Ia menyuruh menolakkan perahu itu sedikit
jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mulai mengajar orang banyak dari atas
perahu itu.
Peristiwa ini
agaknya merupakan sebuah titik balik dalam karier Yesus. Sebelumnya Ia mengajar
dan berkotbah di sinagoga. Sekarang Ia justru melakukannya di tepi tasik.
Memang Ia akan kembali ke sinagoga. Tetapi Ia pun akan tetap ke
kampung-kampung, ke kota-kota, ke bukit, ke jalan-jalan, ke rumah-rumah, ke
tasik. Ia akan pergi kemana saja di mana orang mendengarkan Dia.
Merenungkan
peristiwa Yesus ini mengingatkan saya akan kata-kata alm. Mgr. A. Djajasiswaja,
saat saya kuliah di Bandung. "Mari kita membawa Gereja kita tidak hanya di
sekitar altar saja, tetapi berani juga turun ke pasar".
Kata-kata dari
Uskup yang bersuara berat ini terus menerus terngiang ketika ada rekan imam
selalu mengajak agar kami lebih berani tidak hanya melulu hidup dalam “zona
nyaman surgawi”, tetapi berani memasuki “jalan berlumpur dan bau perjumpaan di
pasar”.
Ini memang suatu
kisah analogi. Bahwa menjadi imam, kami tidak hanya mengurusi Gereja dalam
kerangka liturgi dan perayaan iman. Memang ini sangat sentral dan penting,
tetapi juga kami tidak boleh menutup mata akan suka duka pergumulan hidup
sehari-hari umat dan dinamika “pasar” yang penuh intrik budaya dan bahkan
politik sekalipun.
Altar adalah
pusat liturgi dan doa bagi umat beriman. Altar menjadi wilayah di mana umat
seiman berjumpa, bersama-sama menyampaikan ungkapan iman melalui doa dan
nyanyian. Sebab iman harus diungkapkan agar iman itu menghidupi.
Namun, iman
tidak cukup diungkapkan dengan doa dan nyanyian. Agar sungguh menghidupi,
iman harus disertai tindakan. Dan tindakan sebagai penerapan iman itu
sudah tentu bukan di sekitar altar, melainkan di kehidupan nyata. Sebab, iman
tanpa tindakan (aksi) hanya menjadi kata-kata manis dan bijak, bersifat munafik.
Maka, iman yang
menghidupi tidak melulu berpusat pada altar, melainkan akan terlihat melalui
tindakan nyata di kehidupan nyata, di luar altar. Jadi di pasar, yang
adalah simbol kehidupan nyata.
Seperti apa
pasar itu? Di pasar, kita akan bertemu dengan banyak orang dalam arti
seluas-luasnya, baik latar belakang sosial, budaya, maupun agama. Sebab itu,
pasar sungguh menjadi tempat sejati untuk menunjukkan perwujudan iman. Sebagai
misal, sebagai umat beriman, bagaimana kita berinteraksi terhadap orang lain
yang dijumpai di pasar, tergantung pada suasana hati (mood) saat itu, atau dianggap sebagai kewajiban saja, atau menyapa
dengan penuh ketulusan?
Di
"pasar" kita bekerja, mencari nafkah, mengais-ngais rezeki untuk
hidup. Di sana kita bertransaksi, menjual dan membeli, mencari untung dan
mengejar prestasi, prestise, popularitas. Apakah di sana kita pun mewujudkan
iman kita ?
Secara khusus,
pandemi Covid-19 memaksa kita menutup sementara altar di gereja. Tapi altar di
rumah-rumah tentu mesti tetap terbuka dan berfungsi. Tuhan tetap mengunjungi
dan menjumpai kita di sana. Dia pun tetap mengunjungi kita dalam keseharian
pergulatan hidup kita. Kita harus yakin itu dan kita harus menemukan Dia di
sana. Kita pun harus tetap menunjukkan iman kita kepada-Nya di
"pasar" hidup harian kita.***
(Penulis
Imam Serikat Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)
🙏👍👍
ReplyDelete🙏🙏
Delete