Elegi Tubuh: Surat Kecil untuk Sahabat

*Surat Kecil untuk Sahabat karya Aris Amlupu dipersembahkan pada malam seribu lilin Peringatan Hari HIV/AIDS Sedunia, 1 Desember 2020

Foto Istimewa

Malam ini,

kunyalakan seribu lilin bersama rindu dengan hati rintik-rintik,

untuk para sahabat yang telah berbagi rasa sampai asa,

yang kini telah berpuisi bersama Tuan dan Tuhan segala sajak

Tuhan yang telah telah mengajarkan bahwa air mata bukan hanya tentang duka menjelma duka,

tetapi tentang kekuatan terlampau aduh;

bahwa mata adalah tempat gerah berteduh, segala keluh berhenti mengaduh,

bahwa tutur adalah ajar pekerti jadi berbudi, ajar akal jadi mengerti,

bahwa sela hela-hela nafas adalah doa yang melantun syahdu, hingga resah gulana jadi serah pasrah

bahwa debar jantung adalah bening segala kenangan melagu sendu hingga hening lagi bening segala kata berdetak rindu

bahwa denyut nadi adalah segala puisi bergetar hingga getir bunyi menelan segala sepi

 

Jika ini tentang Virus yang melahirkan Elegi rindu teramat sendu pada tubuhmu, mengapa tak kau ceritakan padaku?

 

Mengapa?

Mengapa ada duka terlampau masam pada tubuhmu?

Ayo, katakan mengapa?

Mengapa harus ada sebilah pedang menikam dada ketika air mata dan pelukan hangat hendak kuberikan saat kematian perlahan-lahan menciumi tubuhmu?

 

Dan kini, ketika kefanaan hidup mencapai kepenuhannya

Kulihat betapa rasa kemanusiaan hanya sebagai pakat dada, namun tak dimaknai dengan isi dada

Hanya sebatas peringatan pada ingatan

 

Tubuh seorang sahabat yang diterjang Virus, dibungkus dengan plastik seadanya, sedangkan selimut kelembutan yang hangat, masih menanti di tempat tidurnya ketika harap menidurkan segala mimpinya. Seolah menguatkan dasar penolakan atas mereka

 

Dan aku yang selama ini merajut kedekatan bersamamu, turut mengantarkan kepergianmu dengan tumpah meruah segala air mata untuk duka yang terlalu pedih dikecap

 

Kau telah pergi, namun dalam kenangan kau selalu pulang berulang-ulang, berkali-kali, berlipat-lipat dan berabad-abad.

 

Malam ini kunyalakan seribu lilin yang tak akan pernah redup, mengisyaratkan lagi mengingatkan bahwa akan ada cahaya menjemputmu pada subuh yang terlalu dini, dan bahwa akan ada alunan musik yang menemani perjalanan pulangmu.

 

Malam adalah waktu panjang

yang asyik kelahi diranjang

dan tubuhmu adalah kenisah putih

teramat suci

 

Malam ini aku ingin tidur pada aroma tubuh

yang harum mewangi semerbak mawar

yang tak pernah tawar

ingin kupeluk lekuk punggungmu,sambil menjamah

pangkal ujung bawahmu. Selebihnya desahan beradu

pada detakan jarum waktu

tepat di sepertiga malam

Bulan basahi seluruh

tubuh kita yang tak pernah tabah merangkul kepedihan

 

Sesudah itu waktu terus menggusur

dan tubuh kita mulai uzur

Perlahan-lahan mulai mengusut

 

Dalam kelabu, Kita merapal doa

yang terbata-bata:

"Akh... Tuhan, tubuh adalah Elegi Rindu yang teramat sendu”

Kau dan Aku meninggalkan tubuh tandus yang tak pernah sampai pada oase

 

 *Aris Amlupu: Putra Insana, TTU. Saat ini tinggal di BSK Ende.



No comments