Elegi Tubuh: Surat Kecil untuk Sahabat
Foto Istimewa |
Malam ini,
kunyalakan seribu lilin bersama rindu dengan hati
rintik-rintik,
untuk para sahabat yang telah berbagi rasa sampai
asa,
yang kini telah berpuisi bersama Tuan dan Tuhan
segala sajak
Tuhan yang telah telah mengajarkan bahwa air mata
bukan hanya tentang duka menjelma duka,
tetapi tentang kekuatan terlampau aduh;
bahwa mata adalah tempat gerah berteduh, segala
keluh berhenti mengaduh,
bahwa tutur adalah ajar pekerti jadi berbudi, ajar akal
jadi mengerti,
bahwa sela hela-hela nafas adalah doa yang melantun
syahdu, hingga resah gulana jadi serah pasrah
bahwa debar jantung adalah bening segala kenangan
melagu sendu hingga hening lagi bening segala kata berdetak rindu
bahwa denyut nadi adalah segala puisi bergetar
hingga getir bunyi menelan segala sepi
Jika ini tentang Virus yang melahirkan Elegi rindu
teramat sendu pada tubuhmu, mengapa tak kau ceritakan padaku?
Mengapa?
Mengapa ada duka terlampau masam pada tubuhmu?
Ayo, katakan mengapa?
Mengapa harus ada sebilah pedang menikam dada ketika
air mata dan pelukan hangat hendak kuberikan saat kematian perlahan-lahan
menciumi tubuhmu?
Dan kini, ketika kefanaan hidup mencapai
kepenuhannya
Kulihat betapa rasa kemanusiaan hanya sebagai pakat
dada, namun tak dimaknai dengan isi dada
Hanya sebatas peringatan pada ingatan
Tubuh seorang sahabat yang diterjang Virus,
dibungkus dengan plastik seadanya, sedangkan selimut kelembutan yang hangat,
masih menanti di tempat tidurnya ketika harap menidurkan segala mimpinya.
Seolah menguatkan dasar penolakan atas mereka
Dan aku yang selama ini merajut kedekatan bersamamu,
turut mengantarkan kepergianmu dengan tumpah meruah segala air mata untuk duka
yang terlalu pedih dikecap
Kau telah pergi, namun dalam kenangan kau selalu
pulang berulang-ulang, berkali-kali, berlipat-lipat dan berabad-abad.
Malam ini kunyalakan seribu lilin yang tak akan
pernah redup, mengisyaratkan lagi mengingatkan bahwa akan ada cahaya
menjemputmu pada subuh yang terlalu dini, dan bahwa akan ada alunan musik yang
menemani perjalanan pulangmu.
Malam adalah waktu panjang
yang asyik kelahi diranjang
dan tubuhmu adalah kenisah putih
teramat suci
Malam ini aku ingin tidur pada aroma tubuh
yang harum mewangi semerbak mawar
yang tak pernah tawar
ingin kupeluk lekuk punggungmu,sambil menjamah
pangkal ujung bawahmu. Selebihnya desahan beradu
pada detakan jarum waktu
tepat di sepertiga malam
Bulan basahi seluruh
tubuh kita yang tak pernah tabah merangkul kepedihan
Sesudah itu waktu terus menggusur
dan tubuh kita mulai uzur
Perlahan-lahan mulai mengusut
Dalam kelabu, Kita merapal doa
yang terbata-bata:
"Akh... Tuhan, tubuh adalah Elegi Rindu yang
teramat sendu”
Kau dan Aku meninggalkan tubuh tandus yang tak
pernah sampai pada oase
*Aris Amlupu:
Putra Insana, TTU. Saat ini tinggal di BSK Ende.
Post a Comment