Lebih dari Saudara: Renungan Harian, Edisi Selasa, 22 September 2020
*Oleh P. Steph Tupeng Witin,SVD
Bacaan I: Amsal: 2:1-6,10-13
Bacaan Injil: Lukas 8:19-21
Ilustrasi/Foto dok. pribadi |
Rombongan keluarga Yesus ingin menemui-Nya. Tidak tahu untuk apa. Penginjil Lukas hanya menulis demikian, "Ibu dan saudara-saudara Yesus datang kepada-Nya" (Luk 8:19).
Tidak disebut Yusuf, bapak Yesus, ikut dalam rombongan itu. Sepanjang karya Yesus, Yusuf memang tidak disebut satu kali pun. Diri Yusuf pun merupakan sebuah teka-teki yang tak terselami. Tapi Yesus mewarisi dari bapaknya itu sebuah gelar, yaitu "anak tukang kayu" (bdk. Mat 13:55).
Kita coba menduga-duga. Garis keturunan dan hubungan keluarga Yahudi adalah patrilineal, mengikuti bapak. Hubungan genealogis ini tak mungkin bisa dihapus dan dihilangkan oleh alasan apa pun. Dus, tentu Yesus tetap punya hubungan darah dengan keluarga-Nya.
Olehnya, tak disebutkan nama Yusuf dalam rombongan, mungkin saja karena ia memang tak ikut serta. Tapi bisa jadi juga karena punya kaitan dengan jawaban Yesus ketika diberitahu bahwa keluarga-Nya ingin bertemu dengan-Nya. Yesus berkata: "Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya" (Luk 8:21). Kiranya ada pesan penting yang ingin disampaikan.
Dari pengalaman, dapat terjadi bahwa seseorang merasa dirinya jauh lebih dekat dengan orang yang bukan keluarga genealogisnya. Hubungan yang paling akrab di dalam kehidupan ini bukan saja hubungan darah, tetapi juga hubungan yang terjadi dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Kalau orang mempunyai tujuan-tujuan yang sama, prinsip-prinsip yang sama, minat-minat yang sama; maka mereka akan sungguh-sungguh merupakan kerabat yang nyata dan sejati. Bahkan mereka bisa merasa lebih dari saudara satu terhadap yang lain.
Maka, tak disebutkan nama Yusuf, bisa saja karena dianggap bahwa hubungan darah memang tak bisa dinafikan. Tapi penginjil Lukas juga ingin menegaskan bahwa orang bisa menjadi saudara karena kedekatan dan ikatan hati, karena kesamaan visi.
Dan jawaban Yesus mengungkapkan ada satu hal dasariah yang mengikat erat dan membuat Dia bisa menjadikan seseorang sebagai ibu-Nya dan saudara-saudari-Nya. Hal itu tak lain "mendengarkan firman Allah dan melakukannya".
Firman Allah itu artinya Allah omong apa, Allah berbicara tentang apa. Apa yang diomongin, apa yang dibicarakan Allah ini harus didengarkan. Kalau kita mendengarkan, maka kita adalah ibu-Nya Yesus atau saudara atau saudari-Nya, Yesus.
Orang yang rajin membaca Kitab Suci tentu terbiasa mendengar Allah berbicara kepadanya. Tinggal bagaimana ia melaksanakannya. Sedangkan kita yang mungkin belum terbiasa, saatnya untuk rajin agar bisa menjadi pendengar Sabda dan pada sejalan dengan itu berusaha menjadi pelaksana Sabda. Jangan tunggu ... kalau mau jadi saudara atau saudari Yesus. Dia akan memperlakukan kita lebih dari saudara kandung kita sendiri, pun lebih dari "saudara" kita yang macam mana pun.
Terkait ini, kalau Yesus saja memperlakukan kita sebagai saudara atau saudari-Nya, karena kita mendengar dan melaksanakan firman Allah, maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak menjadikan siapa pun yang mendengar dan melaksanakan firman Allah sebagai saudara atau saudari kita. Memangnya kita ini siapa sehingga merasa berhak dan seenaknya mencap orang lain kafir dan memperlakukan orang lain sebagai musuh, padahal jelas mereka pun mendengar firman Allah dan melaksanakannya. Semestinya kita pun menjadikan mereka saudara, lebih dari saudara se-darah.***(Penulis Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)
Post a Comment