Ikutlah Aku: Renungan Pesta Santo Matius Pengarang Injil, Edisi Senin 21 September 2020

*Oleh P. Steph Tupeng Witin, SVD

Bacaan I: Efesus 4:1-7,11-13

Bacaan Injil: Matius 9:9-13

Ilustrasi/Foto Vinsen Polli

Penginjil Matius berkisah tentang Yesus memanggil dirinya. Menarik sekali karena secara tak langsung mengidentifikasi dirinya sebagai "orang berdosa". Ini terbaca dengan adanya catatannya tentang reaksi negatif dari orang Farisi yang disampaikan kepada murid-murid Yesus saat melihat Yesus makan di rumahnya. "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" 

Kita bertanya, mengapa Matius tak malu menyebut dirinya berdosa? Dalam hal apakah ia berdosa? Perbuatan apakah yang dilakukannya yang membuatnya dianggap sebagai orang berdosa? Dalam kalimat awal teks ini, Matius menulis dengan jelas bahwa ketika Yesus memanggil dirinya kala itu, ia sedang duduk di rumah cukai. Ia sedang bertugas pungut cukai, retribusi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perbuatan memungut cukai itulah yang menyebabkan ia dinilai sebagai pendosa. Tepatnya, perbuatan memungut dengan cara yang tidak benar. Mungkin pakai salam tempel, tak beri tanda terima, penggelapan, manipulasi, korupsi. Kalau soal ini tidak perlu diurai karena sudah jadi rahasia umum alias semua orang sudah pada paham.

Jadi, ketika Yesus memanggil Matius, ia sebenarnya adalah orang berdosa, orang yang sudah tak baik lagi di mata umum. Hanya menarik, tak dijelaskan mengapa Yesus justru memanggilnya? Apakah Yesus mau menginterogasi atau memarahinya? Tak dikisahkan. Matius hanya menulis bahwa Yesus memanggil dia dengan berkata begini, “Ikutlah Aku”. Kemudian Yesus pun bertandang dan makan di rumahnya bersama-sama dengan orang-orang berdosa yang menyusul datang.

Meski demikian, hemat saya, kisah panggilan ini secara demonstratif memperlihatkan satu contoh dalam Perjanjian Baru tentang keunggulan Yesus. Ia mampu melihat manusia bukan hanya dari penampilan dan keadaan lahiriah semata, melainkan terlebih dari kemungkinan perubahan ke arah kebaikan yang ada dalam diri orang yang bersangkutan. Meski seseorang itu berdosa, toh sebenarnya di dalam dirinya masih ada kemungkinan untuk menjadi baik kembali. Bahkan ia bisa menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Itulah sebabnya Injil mencatat kata-kata penegasan Yesus lebih lanjut, "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit... Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa". 

Kalau begitu, kita harus berusaha melihat hingga ke kedalaman diri orang lain. Di balik ketidakbecusannya, kedegilan dosanya, masih adakah kemungkinan ia menjadi baik dan berguna. Ibarat barat bekas, apakah masih bisa dipergunakan dan dibentuk untuk sesuatu yang indah dan berkualitas. Kita belajar untuk mencari hal positif yang pasti ada dan tidak terfokus melulu melihat hal yang negatif. Kalau hanya terpaku pada kesalahan, pasti muncul pesimisme bahwa orang sudah tak bisa berubah, tak mungkin diubah. Terkait itu, Kita berusaha untuk selalu punya hati yang berbelas kasih kepada sesama yang berdosa, yang tidak bercus. Karena hanya yang berbelas kasih-lah yang bisa menggugah, mendorong, dan memampukan kita untuk melihat titik-titik terang, sesuatu yang indah dalam diri sesama itu.

Namun di sisi lain, apa yang didemonstrasikan oleh Yesus ini tidak boleh ditafsirkan bahwa para pendosa lebih berharga dari pada orang saleh. Apa yang dilakukan oleh Yesus harus ditanggapi secara wajar. Bahwa Ia datang terutama untuk orang yang berdosa. Sebab mereka pasti lebih membutuhkan-Nya. Mereka yang berdoa berada dalam jurang dan sangat mengharapkan pertolongan-Nya. Yesus mau menuruni jurang itu untuk mendapatkan dan memberikan pertolongan-Nya. Jadi, ini bukan alasan bagi orang berdosa untuk berbangga diri, melainkan menjadi kesempatan untuk membuka diri dan menerima Tuhan dengan sepenuh hati. 

Oleh karena itu, kiranya kita pun terdorong untuk memberi perhatian kepada sesama yang salah jalan, menunjukkan kasih yang tulus, menghadirkan wajah dan pribadi Yesus yang murah hati. “Aku datang ... untuk orang berdoa”, seharusnya menjadi pegangan bagi kita. Dalam arti, perhatian utama perlu kita tujukan kepada mereka yang dalam suatu kondisi tertentu membutuhkan bantuan.***(Penulis Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)

No comments