Salib: Cinta yang Menghidupkan. Renungan Pesta Salib Suci, Edisi Senin, 14 September 2020

*Oleh P. Steph Tupeng Witin, SVD 

Bacaan I: Bilangan 21:4b-9

Bacaan II: Filipi 2:6-11

Bacaan Injil: Yohanes 3:13-17

Foto Salib Yesus di Taman Jalan Salib Biara St. Yosef Frainademetz Noemeto/Foto Vinsen Polli 

Hari ini Gereja merayakan Pesta Salib Suci. Pesta ini diawali untuk memperingati penemuan salib Tuhan Yesus pada tahun 320 oleh Santa Helena, ibunda dari kaisar Romawi Konstantinus. Sejarah mencatat, setelah penemuan salib oleh Santa Helena, sebuah basilika didirikan oleh kaisar Konstantinus di atas makam kudus Yesus di Yerusalem. Kemudian basilika itu diberkati pada tanggal 14 September 335 dengan perayaan yang sangat meriah dan khidmat.

Pesta hari ini agak berbeda dengan hari Jumat Agung. Pada hari Jumat Agung, kita merayakan sengsara dan wafat Yesus di kayu salib. Sementara pada pesta hari ini, yang dirayakan adalah salib sebagai sarana yang dipilih Allah untuk menyelamatkan kita. Allah telah mengubah sarana hukuman mati yang memalukan ini menjadi sarana penyelamatan kita. Oleh karena itu, kita bisa bernyanyi “Kita harus bangga akan salib Tuhan kita, Yesus Kristus".

Tetapi kita mesti segera sadar, bahwa salib tidak pernah melulu bermakna sengsara. Di baliknya ada cinta yang menghidupkan. Salib bukan tujuan akhir kita. Ada kenyataan mahapenting, yaitu pembebasan, harapan dan kehidupan baru yang bermuara pada kebangkitan. Bahkan kita harus katakan bahwa tanpa makna ini, salib tetap sebagai sarana hukuman mati yang memalukan.

Bagaimana dengan kita? Bagi kita, salib tidak pernah boleh hanya menjadi kata yang mengarah kepada sengsara, derita. Tetapi bagaimana kenyataanya? Tidak jarang kita justru berhenti pada derita; (jangan-jangan) kita terlalu menikmati berkorban hingga mati. Tetapi di sisi lain, kita justru lupa pada kesembuhan, pembebasan, kehidupan, yang membawa keceriaan.

Lazimnya di setiap dinding belakang altar gereja dipasang salib yang cukup besar. Setiap kita dapat memandangnya dan berlutut di hadapan salib Tuhan. Itulah salib Kristus yang menyelamatkan, yang membuat kita bisa berekaristi dengan anggun dan meriah. 

Setiap orang Israel yang memandang tongkat Musa yang ditinggikan di padang gurun, mengalami penyelamatan, terkhusus penyembuhan dari sakit. Kini kita pun mesti yakin akan penyelamatan kita berkat salib itu.

St. Ignasius Loyola, "There is no better wood for feeding the fire of Gods love than the wood of the cross". Tidak ada kayu yang lebih baik untuk mengobarkan api cinta Tuhan selain kayu salib.

Saat ini memang waktu yang tepat bagi kita untuk memandang salib. Saat mendengar saudara, sahabat, tetangga, atau siapa saja yang positif terpapar covid-19; atau saat menemani, menjaga, merawat yang sakit; kita pandangi salib Tuhan. Kita ingat akan cinta Tuhan yang menyembuhkan dan menghidupkan, yang membangkitkan dan memberi harapan lagi.

Dan, jangan lupa pesan St. Ephrem dari Syria (373) ini, “Tandailah seluruh kegiatanmu dengan tanda salib yang memberi kehidupan. Jangan keluar darin pintu rumahmu sampai kamu belum menandai dirimu dengan tanda salib. Jangan mengabaikan tanda ini, baik pada saat sebelum makan, minum, tidur, di rumah maupun di perjalanan. Tidak ada kebiasaan yang lebih baik daripada ini. Biarlah ini menjadi tembok yang melindungi segala perbuatanmu, dan ajarkanlah ini kepada anak-anakmu sehingga mereka dapat belajar menerapkan kebiasaan ini. Dengan ini selalu ada ketenangan, kegembiraan dan harapan".***(Penulis Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)

No comments