KUBURAN: Renungan Hari Biasa, Edisi Rabu, 26 Agustus 2020

*P. Steph Tupeng Witin, SVD

Bacaan I: 2Tesalonika 3:6-10,16-18
Bacaan Injil: Matius 23:27-32

Foto Ilustrasi Vinsen Polli


Kuburan atau makam sebenarnya "tempat tinggal" di bumi untuk orang yang sudah meninggal. Memang ada yang berbentuk apa adanya, tak lagi terurus. Namun terbanyak berbentuk megah dan indah. Berdesain modis, penuh pualam atau marmer mahal. Bahkan ada pula dibuatkan rumah sebagai pelindungnya.

Kalau sempat bermenung sejenak. Untuk siapakah sesungguhnya kuburan yang mentereng itu ? Secara logika, tentu bukan untuk yang menempatinya. Ia sudah almarhum dan tak mungkin menikmatinya lagi. Umumnya dikatakan sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih. Tapi tak sedikit komentar, bukankah jauh lebih bermakna segala yang dibuat itu kalau dilakukan saat yang terbujur kaku dan mungkin sudah tinggal tulang belulang itu masih hidup bersama ?

Tapi kita tinggalkan pokok itu dalam permenungan ini. Kita terarah dan fokus pada bentuknya yang dibuat dan dipoles bagus dan indah dipandang. Soalnya hari ini Yesus menggunakannya sebagai gambaran tentang sikap dan pola hidup kita. Ini terbaca dalam kata-kata kecaman kerasnya kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, "Hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (Mat 23:27-28).

Seperti kemarin, Yesus kembali menunjukkan ketidaksukaan-Nya terhadap orang munafik. Kali ini aksentuasi pada memoles dan mempercantik diri bagian luar, tapi tidak merias dan memperindah hati. Menata kata dan halus tutur bahasa, tapi betapa keras dan tegarnya hati oleh benci dan dendam. Memperlihatkan sikap dan perilaku yang indah dipandang, tapi sebenarnya menutupi kebusukan hati dan kekeringan belas kasihan.

Kalau bisa berkaca diri, secara manusiawi, semua kita memang berkecenderungan maunya dipuji, "senang makan puji". Siapa pun kita, inginnya dinyatakan sebagai orang yang baik hati, murah hati; maunya diakui dan dipuja sebagai orang terhebat, ter ..., ter ... lainnya. Salahkah ? Kiranya tak bisa dinilai salah untuk seluruh aspek kehidupan. Dalam dunia kerja, kompetisi, festival, dimana penuh persaingan, kita harus punya semangat itu agar bisa sukses. Kita harus kerahkan seluruh daya agar bisa menjadi yang tercepat, terjauh dan tertinggi di bidang atletik. Kita mesti kerja keras dan kerja cerdas agar bisa meraih bintang, jadi idol.

Namun kita ingat, Tuhan justru akan menunjukkan ketidaksukaan-Nya kalau murid-Nya berkeinginan menjadi the best melulu dengan usaha mempercantik diri dan lupa menata hati. Tuhan tak mengindahkan pengikut-Nya yang merias penampilan untuk menutupi bopeng dan jerawatnya wajah, tapi tidak membersihkan belepotannya hati oleh kedurjanaan.

De facto orang mudah merasakan dan kagum dengan pribadi yang bersih hati yang terpancar pada wajah dan penampilan, performacenya. Kehadirannya dirindukan dan pengalaman bersamanya dikenang, tak lekang oleh waktu. Keluarga yang harmonis, komunitas yang penuh cinta, persahabatan yang serasi, ikatan keluarga yang erat sangat gampang dikenal dan dikagumi. Tapi pribadi yang berhati busuk atau keluarga yang berantakan dapat mudah terbaca meski ditutupi dengan cara apapun.

Tuhan pasti lebih tahu. Dia bisa melihat jauh ke dalam hati bahkan hingga yang terdalam dan terpendam sekali pun. Dia menyelami hati setiap insan. Maka perkataan kecaman-Nya yang keras hari ini, kiranya menjadi awasan bagi saya, bagimu, bagi kita, bagi siapa pun insan murid-Nya. Jaga diri dan tata hati, pribadi agar kita tidak menjadi ibarat kubur yang asri dipandang, tapi dalamnya penuh tulang belulang.

Rasanya kita sudah terbiasa ke kuburan, berziarah. Di kuburan kita mengenang segala pengalaman bersama dengan yang terbujur di dalam kuburan. Kita mendoakan dan minta didoakan. Di kuburan barangkali kita membayangkan kelak di kubur. Itu suatu kepastian.

Tapi baiklah di kuburan pun kita tak lupa berniat agar diri dan hidup kita tak seperti kuburan. Niat yang akan kita wujudkan dengan tata diri dan rias hati. Soalnya kita ingat sabda Yesus di bukit, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" (Mat 5:8). Ada hadiah istimewa yang bakal diterima. Bukan puja puji manusia. Bukan diundang ke istana negara dan berselfie dengan Jokowi. Tapi melihat Allah.***(Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)


No comments