DENDAM: Renungan Pesta Wafatnya St. Yohanes Pembaptis, Edisi Sabtu, 29 Agustus 2020

 *Oleh Pater Steph Tupeng Witin, SVD

Bacaan I: Yesaya 1:17-19

Bacaan Injil: Markus 6:17-29

Foto Ilustrasi Vinsen Polli

Selama manusia berkembang normal, selama itu juga pasti ia tidak tertarik untuk menyimpan dan menaruh dendam. Celakanya, dendam dibuat tumbuh dan dipelihara banyak orang, malah oleh orang-orang yang mengaku beragama. Perang antar kelompok, antar geng, antar kampung, antar orang-orang seagama cukup sering terjadi lantaran dendam. Bahkan sesama saudara sekandung pun bisa saling membunuh karena dendam.

Penginjil Markus membeberkan cerita tentang kematian tragis Yohanes Pembaptis. Dipenggal kepalanya karena dendam.

Yohanes sebenarnya adalah seorang nabi yang dikagumi oleh raja Herodes. Tetapi ia dibunuh karena ada yang menaruh dendam kesumat terhadap dirinya. Siapa ? Herodias, yang telah menjadi isteri tidak sah raja Herodes. Ia menaruh dendam pada Yohanes, karena nabi itu berani mengecam dosanya. Padahal umum diketahui bahwa yang berani menunjuk-nunjuk dosa pimpinan, sering kali dilenyapkan begitu saja. Ada yang diberhentikan dengan dalih  sesuka pimpinan, ada yang dilenyapkan begitu saja. Tak sedikit yang ditembak, dipenggal, digantung.

Dendam penguasa mampu menghancurkan orang tanpa proses apa pun. Itulah yang terjadi di istana Herodes pada hari pesta ulang tahun raja Herodes. Herodias melampiaskan dendamnya. Herodias sendiri tak membunuh. Ia tidak mau mengotori tangannya dengan darah. Namun ia lebih busuk dari Herodes. Sebab ia menggunakan akal liciknya agar Herodes "mabuk" kepayang menyaksikan tarian puterinya, lalu menjanjikan hadiah. Hadiah itu harus diberikan sesuai janji, yakni kepala Yohanes Pembaptis.

Dendam bukan hanya merusak hati. Ia melumpuhkan akal sehat. Meski terlahir dari sebuah rasa sakit, dendam justru dibangun di dalam kepala. Ia bukanlah sebuah rasa, dendam adalah sebuah pemikiran. Dendam lebih sering bermetamorfosa menjadi sebuah pola pikir yang kemudian menutup rasa empati dalam hati dan membutakan diri. Orang yang menyimpan dendam, tak mampu berpikir jernih. Ya ... dendam adalah guru segala jenis kejahatan. Lebih ganas lagi covid-19 yang menakutkan jagat sekarang ini.

 Kita ? Apakah kita mau dendam tumbuh dan bercokol dalam hati ? Kita mau buat apa agar dendam yang lagi bersemi di hati bisa mengering, layu dan mati ?

Terkadang tajamnya komentar dan sangarnya perbuatan orang lain bisa menjadi hal yang menyakitkan karena tak ada yang tahu kekuatan hati seorang manusia. Ada yang dilahirkan dengan hati tebal sekeras baja, ada pula yang dianugerahi hati mudah rapuh seakan terbuat dari kaca. Setiap insan memang berbeda. Karenanya bagaimana hati kita menerima itu semua menjadi beragam. Ada yang bisa memaafkan, namun ada yang sebaliknya memendamnya dalam-dalam hingga menggumpal menjadi dendam.

Bagi yang hatinya "halus", rasa sakit akan begitu membekas. Bukan hanya sehari dua hari. Mungkin bahkan hingga dibawa mati. Tak jarang kita berharap dendam dalam hati ini bisa menguap begitu saja. Hilang ditelan awan. Hingga kita bisa lebih lega menjalani hidup tanpa harus menanggung perasaan. Namun nyatanya, kebanyakan dendam justru menggenang laksana kubangan sisa air hujan di langit-langit rumah yang menanti seberapa kuat plafon mampu bertahan.

Saat tersakiti, tidak mungkin kita menyalahkan Tuhan yang memberi hati tipis yang mudah luka. Yang ada, seharusnya kita belajar menggunakan kemampuan pikiran untuk bisa mencoba melapangkan dada dan berusaha menerima. Karena dendam sama sekali tidak membuat kita lebih baik ataupun menyembuhkan luka-luka lama. Menyimpan dendam tak ubahnya seperti menjadikan kisah pahit sebagai sebuah obyek yang kita simpan dan koleksi.

Sebelum jatuh terjerat pada keinginan membalaskan perbuatan kepada mereka yang menyakiti, baiknya mengingat bahwa ada jalan lain untuk terlepas dari gemuruh jiwa ini. Jalan keluar untuk terbebas dari dendam bukanlah dengan mendapatkan kata maaf dari mereka yang telah menyakiti. Ya, meski mungkin itu akan cukup meredakan. Tapi sesungguhnya yang terpenting adalah berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.***(Penulis Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)

No comments