Salib: Jalan Menuju Kemuliaan (Renungan Minggu Paskah VII, Edisi Minggu 24 Mei 2020) Oleh P. Steph Tupeng Witin, SVD


"Bapa, telah tiba saatnya. Permuliakanlah Anak-Mu" (Yoh 17:1).

Bacaan I: Kisah Para Rasul 1:12-14;1

Bacaan II: Petrus 4:13-16

Bacaan Injil: Yohanes17:1-11a.

 

P. Steph Tupeng Witin, SVD (Foto Dok.Pribadi)

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,

Yesus memberikan teladan menakjubkan bagi kita. Tidak cukup hanya dengan melayani. Yesus, Sang Guru setia membangun hidup dan karya-Nya dalam kekuatan “menengadah ke langit” agar segalanya, hidup dan karya-Nya, tetap dalam alur “kehendak Allah Bapa-Nya.”  Yesus sadar bahwa kemuliaan akan hadir ketika semuanya itu terlaksana. Ketika apa yang dikehendaki Bapa tiba pada “akhirnya.” Ketika Ia dapat “menyelesaikan” semuanya. Tapi untuk mencapai “momen kemuliaan” itu, Yesus sadar bahwa salib dan kematian menjadi pilihan paling berat. Yesus mengawalinya dalam sebuah pilihan sulit. “Haruskah piala penderitaan ini terlewati? Haruskah Ia hindari alur derita yang mengerikan itu? Haruskah Ia berlalu pergi dari kata-kata hinaan dan penuh caci?” Saat yang dinantikan itu harus dihadapi Yesus. Tidak boleh ada usaha “berlalu pergi” dan “menghindar.” Maka kekuatan dari Allah Bapa diserukan, agar momen tragis itu menjadi indah pada waktunya: “Selesailah sudah”(Yoh19:30).

 

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,

Tuhan dan Guru bertahan dalam kisah derita. Semuanya demi para murid yaitu kita agar tetap menjadi “milik Bapa” (Yoh 17:6). Yang telah dimulai dalam pengajaran Firman hendaknya tak berakhir penuh kesia-siaan. Guru tetap ingat dan mendoakan para murid (kita) agar tetap dalam lintasan “milik Bapa”. Sebagaimana Ia bertahan dan dipermuliakan hingga derita dan kematian salib, seperti itulah harapan-Nya bagi para murid dan kita sekalian. Ada banyak alasan dan momen kemuliaan dalam hidup. Kita dimuliakan dunia karena prestasi, bakat, produktivitas, status, kuasa, pangkat, jabatan, pengaruh.  Kita dimuliakan sesama karena “memiliki semuanya”, diagungkan karena litania apa yang kita “punyai.”

Kemuliaan dalam Tuhan, sejatinya, kita dapati melalui kesetiaan bertahan dalam tantangan hidup. Dalam nilai-nilai seperti kesetiaan, kesabaran, komitmen, jujur, adil profetisme dan tanggung jawab. Dalam kekuatan “Jangan menyerah!” Nilai-nilai ini harus diperhadapkan dengan situasi, keadaan yang sulit dan menantang. Ketika para murid, kita, ada dalam pergolakan, apakah kita setia bertahan? Atau menyerah dan berlari pergi? 

 

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan,

Kita, di atas dunia ini, tetaplah dalam proses menjadi murid Sang Guru dengan segala kerapuhan, keterbatasan dan ketidakhebatan yang melekat erat. Kita pun ada dalam momen berat kehidupan yang sering tak terhindarkan. Tetapi terputus totalkah jalan hidup kita untuk “menjadi murid Tuhan” dan “menjadi milik Bapa?” Mari kita renungkan kemuliaan Tuhan melalui salib. Kita diteguhkan dalam doa-Nya yang lembut, kukuh dan sungguh membesarkan isi jiwa dalam pengharapan. Andaikan semuanya ini berada pada titik sebaliknya, betapa perjalanan hidup ini terasa sangat menyedihkan. Tetapi Firman Tuhan selalu meneguhkan. Kita adalah milik Bapa! Pengetahuan dan kesadaran agung ini kita peroleh dalam dan melalui pengajaran Firman. Sebuah ironi terkuak ketika dalam hidup, kita mengakui Allah sebagai Bapa tetapi tidak tahu apa yang Bapa ajarkan? Kita mengakui dan merasa diri sebagai “milik” Bapa tetapi hidup kita tak sejalan dengan apa yang dikehendaki-Nya?

Kita tersadar oleh doa Sang Guru, "Sebab segala firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku, telah Ku-sampaikan kepada mereka dan mereka telah menerimanya…" (Yoh 17:8). Agar sebagaimana Sang Guru, kita pun sanggup tiba pada akhir  “kemuliaan” hidup kita sehingga tergenapilah kata-kata Kristus di puncak Kalvari, “Selesailah sudah” (Yoh 19:30).***(Penulis adalah Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Waikomo, Lembata)

Selamat Hari Minggu. Salam dan Berkat.

2 comments: