Panggilan Untuk Berbakti Ditengah Pandemi Covid-19 (Sr. Antonita Katarina Wilik, SSpS)

 
Para biarawati SSpS Komunitas Halilulik menumpang mobil pick up menuju wilayah pinggiran Kabupaten Belu

Kesadaran akan panggilan Allah dalam setiap pribadi manusia memampukan dirinya menaruh sikap peka dan peduli terhadap situasi hidup sesama dimana saja ia berada. Ini merupakan buah dari kebiasaan-kebiasaan spiritual yang bertumbuh subur dalam setiap pribadi kaum terpanggil yang selalu dan terus-menerus mendengarkan suara Allah.  Disinilah letak kekhasan yang melekat dalam diri kaum terpanggil. Hemat saya konteks keterpanggilan manusia dewasa ini merupakan suatu kesediaan untuk menerima dan menjalankan tugas khusus yang diberikan Allah dengan sebaik-baiknya. Mungkin lebih sederhana lagi, tugas yang diberikan Allah tidak untuk mencari zona nyaman supaya mengamankan diri dalam lembutnya busana kebesaran yang juga turut menjadikan kaum terpanggil menjadi sangat khas lagi kudus.

Saat ini seantero dunia sedang dirundung pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang memakan banyak korban jiwa. Pandemi ini membawa keresahan dan ketakutan bagi seluruh umat manusia. Harapan puntung buntung. Suara umat manusia serentak berseru dan memohon pada yang kuasa “Tuhan akhirilah cobaan ini”.

Para biarawati SSpS sedang membagikan sembako dan masker bagi warga masyarakat

Di tengah situasi ini, adakah yang lebih kuat dari suara seruan, adakah yang lebih nyata dari kegelisahan dan ketakutan yang mendera tubuh dan jiwa seluruh umat manusia. Ada yang mendengar dan ada pula yang melihat dan mereka melebur diri sebagai ungkapan cinta dari tugas pelayanan kasih yang diemban.

Sipakah mereka?

Para biarawati SSpS perempuan-perempuan cantik nan ayu hadir dengan suara dan sentuhan yang sungguh meneguhkan mereka yang lemah, dan terpinggirkan. Suara dan sentuhan menyatu dalam aksi sosial tanpa unsur politik berupaya menjamah mereka yang lemah dan menjangkau mereka yang terpinggirkan. Tanah Rai Belu menjadi saksi cinta niatan dan bakti penuh ketulusan dari biarawati SSpS Provinsi Timor.

Proses pembagian sembako dan masker di rumah-rumah warga

Langit tanah rai belu kala itu bersinar cerah, terik matahari kian membakar, para biarawati menumpang mobil pick up dan taft duduk diantara himpitan karung-karung putih berisikan sembako dan masker jahitan mereka sendiri. Suasana sunyi mengiring rombongan para biarawati menuju wilayah-wilayah pinggiran tanah rai belu. Ungkapan kasih penuh ketulusan tergambar indah dari raut wajah-wajah puteri-puteri Arnoldus Janssen ini. Setelah menjumpai rumah-rumah warga pinggiran, kaki mereka melangkah dengan pasti, wajah bersimpul senyum menjumpai warga di setiap rumahnya. Mereka membagikan sembako dan sapaan kasih yang meneguhkan dari kekurangan dan kesahajaan mereka. Ada banyak orang yang melakukan aksi sosial serupa, namun yang ini sungguh dilandasi oleh kasih tanpa muatan politik.

Para biarawati menuturkan bahwa mereka mendapati masyarakat pinggiran sedang dalam situasi resah, takut, cemas, akan ancaman wabah virus yang telah merenggut ribuan nyawa di seantero jagat. Sembari membagikan sembako dan masker bagi setiap warga, para biarawati yang berjalan seturut protokol pemerintah menyempatkan diri untuk meneguhkan warga masyarakat yang tak berdaya lantaran dilanda ketakutan akan bahaya virus corona.

“Kami mendapati warga kita dalam situasi yang tidak biasa, seperti biasanya. Mereka resah, takut, dan cemas akan ancaman  bahaya virus ini. Kita ini dipanggil untuk ada bersama mereka, menyapa membagikan kasih Allah yang kita punya dalam diri kita” demikian tutur Suster Kepala Rumah Komunitas SSpS Halilulik.

Kisah perjuangan para biarawati tangguh  ini mengajak kita sekalian untuk tidak takut dan gengsi ataupun mengeluh menumpang mobil pick up, berada dalam himpitan-himpitan karung-karung putih melewati jalan terjan berbatu, naik gunung turun gunung membagi kasih bagi mereka yang kecil dan terpinggirkan. Memberi dari ketiadaan adalah tindakan kasih yang sangat radikal. Semangat pelayanan birawati ini sesungguhnya tidak saja didorong oleh teladan hidup sang guru kita Yesus Kristus, melainkan juga diinspirasi oleh kata-kata Michael Quist bahwa mencintai sesungguhnya merupakan usaha untuk keluar dari dalam diri dan menemukan orang lain di luar kita.

Perjalanan menuju wilayah pinggiran tanah rai belu

Jadilah penerus kasih dan peka terhadap situasi sesama yang sangat membutuhkan pelayanan kita. Karena, hakikat panggilan kita sebagai orang-orang terpanggil yang diserahi tugas khusus adalah berjalan dalam terang kasih Allah untuk menjadi hamba dan pelayan bagi seluruh umat manusia tanpa diskriminasi. Kita sudah ditetapkan sejak awal mula oleh Allah, ketika kita menjawab “Ya” atas undangan Allah kita sebenarnya mengingkari hidup untuk tidak bermegah diri dan berfoya-foya di tengah kemelaratan sesama. Jadi abdi Allah yang setia mencinta sampai sehabis-habisnya.***(Penulis adalah Perawat di Rumah Sakit Marianum Halilulik)

 

 

 

 

 

 

No comments