In Memoriam Pater John Dami Mukese, SVD (100 Hari Meninggal)


Oleh Vinsen Polli 

Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan pada Harian Umum Flores Pos, edisi 27 Oktober 2017. Direvisi kembali oleh penulis untuk mengenang Pater JDM sosok Imam penyair religius pada 100 hari meninggalnya.


            100 hari meninggalnya almarhum Pater John Dami Mukese, SVD, mungkin tidak diketahui ataupun diingat oleh semua orang, kapan waktunya. Meskipun pada saat meninggalnya alamarhum, sastrawan, penyair, dan penulis serentak menulis tentang sosok dan karya almarhum semasa hidupnya.

Pater. John Dami Mukese, SVD

           
Detik-Detik Akhir Hidupnya
            Dengan nada yang bata, tangis yang bisu berusaha menarasikan kembali detik-detik akhir hidup almarhum. Rabu malam 25 Oktober 2017, suasana makan malam di kamar makan Biara Santo Yosef  Ende sangat ramai dan penuh canda tawa seperti biasanya. Alamarhum Pater John Dami Mukese, SVD turut dalam keceriaan dan canda tawa bersama itu.
            Tidak tampak sedikitpun lagak yang menggelisahkan, pada wajah almarhum bahwa dirinya sedang sakit. Namun, beberapa saat kemudian almarhum tertunduk dan mulai mengeluh kesakitan (serangan jantung). Melihat kondisi Almarhum yang sangat menyiksa malam itu, para konfrater (baca: Imam dan Bruder) berinisiatif untuk mengantar alamrhum ke Klinik Santo Martin de Pores Ende untuk mendapat pertolongan medis.
            Almarhum menampilkan diri sebagai sosok yang kuat dan tegar dalam kondisi yang kritis dan menyiksa. Bruder Egi Banu, SVD yang turut menemani almarhum ketika diperiksa oleh dokter di Klinik Santo Martin de Pores Ende, menuturkan bahwa almarhum JDM adalah sosok yang kuat dan tegar menghadapi kondisi sakit yang sangat menyiksa. Dengan senyumnya yang khas, ia pun mengajak 2 konfater muda yang menjaganya untuk pulang dan tidak perlu dirujuk ke RSUD Ende, sesuai rekomendasi dokter di Klinik Martin de Pores, Ende.
            Rupanya suasana makan malam penuh canda dan tawa ria menjadi malam perjamuan terakhir sang almarhum Pater John Dami Mukese, SVD dan salam pisah bersama para konfrater di BSY Ende. Pater Dami pergi untuk selama-lamanya. Menurut saya narasi kematian sang almarhum telah diramalkan olehnya dalam bait pertama puisinya berjudul “Doa-Doa Semesta” bahwa //Pagi ini ada selembar tangis// dari atap gubuk ilalang// Pagi ini ada selembar tangis// dari puncak bukit azab nan latah//. Saya berani menulis seperti ini, karena tempat terakhir almarhum menghembuskan napasnya adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende pada usia 67 tahun. Meskipun awalnya ia menolak untuk dibawah ke RSUD Ende.
            Keluarga besar Biara Santo Yosef meratap tangis saat jenasah almarhum tiba disemayamkan di Kapela Agung BSY Ende. Kabar duka tersiar dan mengejutkan bahwa Pater Dami telah meninggal. Rasanya ingin melawan dan berteriak memrotes kedatangan alamarhum dalam rupa jenasah memasuki pelataran Biara Santo Yosef Ende.
            Kabar dukapun tersiar ke sesama konfater SVD di seantero dunia sahabat kenalan, keluarga besar, pelajar, mahasiswa dan dosen tumpah ruah beriringan mendoakan kepergian sang almarhum yang saat itu disemayamkan di Kapela Agung Biara Santo Yosef Ende. Tak ada lagi kata yang mengatakan kematian adalah jalan menuju penderitaan, melainkan jalan menuju keselamatan. Itulah amanat Allah dalam kitab kehidupan manusia.
            Almarhum dilahirkan dengan nama Yohanes Damianus Mukese, di Menggol, Manggarai Timur pada tanggal 24 Maret 1950 dari pasangan  Josef Gawus dan Martina Inggu. Ditahbiskan menjadi Imam dalam tarekat Serikat Sabda Allah (SVD) 19 Juli 1981.
            Karya dan Teladan Hidup
            Sehari-hari diantara sesama konfrater almarhum lebih dikenal dengan nama Pater Dami. Begitulah biasa disapa. Dalam dunia sastra ia lebih dikenal dengan nama JDM. Nama yang tidak asing bagi anggota SVD Provinsi SVD, pelajar, mahasiswa dan dosen serta kelompok pecinta sastra yang mengenal dan bertatap muka dengan sang almarhum ataupun yang mengenal almarhum melalui karya-karyanya (puisi).
            Sosok yang setia dan pekerja keras tekun ini meraih gelar Doktor (Ph.D) bidang Community Developmnet dari The University of the Philipines, Los Banos Filipina menjalankan tugasnya sebagai dosen pada kampus STPM Santa Ursula Ende dan Stipar Ende. Kesannya dari kebanyakan mahasiswa bahwa Pater memiliki sikap kebapaan yang tinggi. Sikap dan teladannya hidupnyalah membuat banyak orang ingin memrotes kepergiannya yang sangat mengejutkan.
            Saya teringat akan pertanyaan yang sama, pada sore hari pulang kerja dari kantor Harian Umum Flores Pos dan alamarhum sebagai pengajar di Kampus STPM Ende kami bertemu di kamar makan BSY Ende.
            “Hari ini, kamu liput di mana saja, sehingga sore begini baru makan?”, tanyanya sepintas lalu diam.
            Sebagai seorang formandi yang sedang menjalani masa TOP, pertanyaan yang diajukan oleh seorang formator tentu menjadi sebuah pertanyaan sebagai introspeksi diri dan refleksi yang tiada habisnya. Apakah dalam menjalani masa TOP saya mampu menjaga keseimbangan hidup dalam komunitas maupun di tempat praktek sebagai seorang wartawan. ”Iya, akhirnya saya sadar bahwa, sikap kebapaan yang khas dalam diri almarhumlah yang selalu melahirkan pertanyaan demikian.”
            Setiap pagi saat waktu ibadat tiba kami masuk beriringan di dalam kapela untuk berdoa, almarhum sudah menempati tempat duduknya. Sosok yang mengajarkan banyak hal tentang arti ketaatan dan kesetiaan sebagai religius dan calon religius.
            Kata Mereka
            Wakil Provinial SVD Ende, Pater Patris Pa, SVD dalam khotbahnya pada misa pemakaman di Aula Biara Santo Konradus Ende mengatakan  bahwa Pater Dami patut digelari penyair sang Sabda. Ia bukan hanya sebagai Imam, tetapi ia juga seorang penyair yang berpengaruh, pewarta kabar gembira yang handal melalui puisi-puisi yang kaya makna. “Pater Dami adalah sosok penyair religius,” kata Pater Patris Pa, SVD.
            Tony Kleden dalam tulisannya (Mengenang Pater John Dami Mukese, SVD, FP, 27/10/2017) menggambarkan bahwa Pater Dami sejatinya bukan seorang wartawan. Dia adalah seorang satrawan, lebih tepat seorang penyair. Sastrawan pada umumnya memiliki rasa bahasa yang halus. “Diksi yang digunakan dalam tulisannya benar-benar melalui pertimbangan yang matang,” tulis Tony Kleden.
            Gerard Bibang ketika mengenang penyair JDM menulis demikian, “Kematian merupakan kritik terhadap kehidupan. Maka kepergian JDM menjadi kritik bagi kita-kita  yang masih di sini (baca: hidup) untuk: ayo, kembalilah ke jalan kata, jalan puisi, jalan sastra, jalan seni. Sastra akan mengantar engkau menuju kedirianmu. Sastra adalah energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya, dan sejati dalam diri setiap manusia. (WF, Ed. November 2017).          
            Suaranya teduh ketika bercakap dengannya. Sifat ini tampak melalui refleksi hidupnya yang sangat mendalam, baik dalam salah satu karyanya  “Doa-Doa Semesta” 3 kali diterbitkan Penerbit Nusa Indah, Ende. Selain itu karya-karya sastra yang pernah diterbitkan diantaranya Puisi-puisi Jelata (1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996),  Kupanggil Namamu Madona (Puisi Doa Maria, 2005).
            Cerita duka membawa senandung lirih berkisah tentang simphoni duka tentang kepergian sang sastrawan. Kita berkisah bukan lagi tentang sebuah kematian dan tetapi sebuah kehidupan baru yakni jalan keselamatan yang bertumbuh dan berakar dalam diri almarhum.
            Lantunan doa dan mazmur bukanlah sebuah narasi belaka tentang kidung yang terus bergema sepanjang segala abad. Selamat beristirahat dalam tanah air keabadian. Doakanalah kami yang masih berziarah di bumi ini.***

No comments