Parodi Negeriku!



“Benar katamu bahwa engkau sangat mencintai kami,
tapi entah mengapa, cintamu tak pernah hadir pada mata kami”

            Tanya ini masih membuncah, pada bibir-bibir kaum jelata. Aku dan kami memiliki bibir yang sama. Mungkinkah benar, bahwa kita adalah satu ciptaan.  Memang harus diakui, bahwa di zaman ini masih ada penguasa dan perhambaan. Tapi, aku tidak yakin, jika di negeri tua ini masih hidup para penguasa, dan masih ada hamba yang simpuh di istana putih abu-abu. Yah, kami harus yakin, karena kami tak mau melecehkan negeri kami. Negeri yang menyejarah, lantaran jamahan tangan para penguasa masih membekas pada daun-daun keladi yang terus bernyanyi pada musim hujan tiba.
            Kamipun turut bernyanyi rindu, “CINTA telah hadir dengan sungguh, melalui wajah para penguasa kami,....!
            Om, mengapa  jalan di depan rumah itu rusak dan berlubang, itu kan sudah bertahun-tahun rusaknya. Om buta ya,,,? biasanya saat musim hujan banyak yang ngomel, aku malu ketika mendengar omelan mereka, padahal itu bukan salah kita kan?
            “Ssssttttt,,,,,,, diam! Mereka sedang lapar akan bias cahaya pada malam hari”.
            Itu orang-orang yang mau melarikan diri dari negeri ini, lantaran gelap gulita di negeri ini sangat menyeramkan. Saat malam tiba, terdengar tangis pilu, bila tiba musim hujan jiwa-jiwa melayang di atas banjir dan lumpur yang menghiasi badan jalan. Kamu harus tahu, bahwa mereka ingin melarikan diri sambil berteriak melalui jalan itu, namun tidak didengar oleh para penguasa kita, karena mereka sudah menjadi korban human traffiking. Mereka akan dijual seperti barang-barang murahan.
***
           
            Ada yang bertanya, di mana negeri kami, ada pula yang bertanya di manakah rumah kami? Tentunya aku tidak bisa menjawab mereka, lantaran itu bukan hakku. Dan tak mungkin mereka akan mendengar suaraku. Tapi, aku mesti menulis rindu padamu dan padanya, bahwa mereka butuh jawaban dan ingin melihat wajahmu dan jamahan tanganmu yang selalu mungil, karena selalu minum susu Dancow tiap pagi di istana putih abu-abu itu, bersama para hambamu.
            Dulu dalam perjuangan kemerdekaan, Tan Malaka bilang kita harus merdeka 100 persen, tapi negeri kita saat ini sepertinya hanya merdeka 0,11 persen. Itu yang membuat mereka selalu bersorak saat malam gelap tiba, lantas memukul gendang pilu sambil bernyanyi “Benar katamu bahwa engkau sangat mencintai kami, tapi entah mengapa Cintamu tak pernah hadir pada mata kami....! mereka bilang lain kali jangan tebar janji lagi, tebar janji na, tolong ditepati.
            Bangga mendiami negeri ini, karena selalu menyejarah, lantaran selalu dikenang saat bulan madu tiba, atau lazimnya bulan ke-13. Namun, tutur rindu ini, mesti membongkar stigma para penguasa sebelumnya yang masih menyejarakan jalan yang berlubang dan digenangi air pada saat musim hujan itu. Dan mengivestasikan jelata yang tak tahu membaca dan menulis menjadi ikon pariwisata negeri ini. Ingatlah, bahwa ini tidak akan menyejarah. Tapi, tak mengapa, karena kami masih dijajah dengan bibirmu yang pandai bermain retorika seperti para Politisi di Negeri Timur Jauh Tertinggal.
            Ujaran Tan Malaka bahwa kita harus merdeka 100 persen, untuk sementara dikuburkan saja, pada waktunya kami akan berjuang dan menggapainya, sehingga negeri ini bisa merdeka 100 persen. Bukan lagi 0,11 persen.

            Selamat dan mohon ma’af untuk jeritan kami yang hadir mengganggu para hambamu yang akan membaca jeritan kami, kaum jelatamu.***(Oleh Vinsensius Polli)

No comments