Cerpen Penjara yang Adil
*Oleh Vinsen Polli
Ayahku yang sehari-hari dikenal dengan nama Simon meregang nyawa dalam rumah tahanan. Sesuai keterangan polisi, ayah mati lantaran gantung diri dengan ikat pinggang pada lehernya.
Ilustrasi |
Malam hampir larut aku
belum bisa memejamkan mata. Aku hanya bisa membolak balikan tubuhku di ranjang
bambu tanpa kasur beralaskan nahe.
Selayaknya diriku sedang bergulat dengan
cengkeraman maut yang akan mengeliminasi hidupku dari bumi.
Entah ini yang membuat tidurku tidak nyaman ataukah ada alasan lain yang mengganjal dalam diriku yang tidak bisa diungkapkan dengan kata?
Entah ini yang membuat tidurku tidak nyaman ataukah ada alasan lain yang mengganjal dalam diriku yang tidak bisa diungkapkan dengan kata?
Malam ini sungguh
aneh bagiku lantaran tak seperti malam-malam sebelumnya. Dengan dada sesak, aku
terbangun dan menatap semua isi rumah dengan penuh tanya. Ya tanya. Tanya yang
retoris.
Rumah berukuran 5x4 meter beratapkan alang-alang dan berdinding bebak tanpa sekat. Diterangi lampu pelita yang hampir redup, sumbunya mengering karena ketiadaan minyak. Aku tak peduli.
Rumah berukuran 5x4 meter beratapkan alang-alang dan berdinding bebak tanpa sekat. Diterangi lampu pelita yang hampir redup, sumbunya mengering karena ketiadaan minyak. Aku tak peduli.
Akupun tak resah walau
suasana rumah akan sangat menyeramkan. Ah, tidak mungkin, ini bukan rumah
penjara. Bukan juga rumah tahanan yang merengang nyawa Simon, Ayahku, setahun
yang silam.
Di bawah remang-remang cahaya lampu yang semakin redup kudapati Antoin, Ibuku, sedang memeluk Tinus, adikku, tertidur pulas di atas tanah beralaskan secarik nahe dan kain kusut bekas peninggalan Ayah.
Di bawah remang-remang cahaya lampu yang semakin redup kudapati Antoin, Ibuku, sedang memeluk Tinus, adikku, tertidur pulas di atas tanah beralaskan secarik nahe dan kain kusut bekas peninggalan Ayah.
Ibu dan adikku mungkin tak peduli dengan sadisnya cekikan hawa malam. Aku berdiam diri sambil merenung di ranjang bambu racikan jari-jemari ayah. Aku seolah-olah berdosa pada Ibu dan adikku yang masih kecil. Aku begitu tega pada ibu dan adikku. Mungkinkah alamarhum Ayahku, akan sangat marah padaku?
Aku menerawang dalam balutan kesunyian malam. Kesunyian
malam membawa ingatanku pada rumah om Sepus yang adalah seorang pejabat tinggi
di negeri ini. Aku ingat saat aku dan almarhum ayahku menghadiri acara
syukuran pelantikan Om Sepus pejabat tinggi di negeri ini. Kala
itu, aku dan almarhum Ayah menghadiri pelantikan Om Sepus sebagai pejabat
tinggi. Rumah berlantai dua nan mewah, berukuran besar, setiap ruangan didesain
begitu indah, laiknya istana megah.
Ruangan tamu beriskant
kursi-kursi empuk yang serba indah. Setiap tamu ditanyai dalam-dalamnya oleh
penjaga pintu. Aku menyaksikan dan mengalami semua itu sebagai sebuah istana
mini nan culas.
Ketika om
menghadiri misa pemakaman ayah yang meregang nyawa tanpa sebab dalam rumah tahanan,
ia mengajak aku dan ibu beserta adik untuk tinggal bersamanya di ibu kota negeri
ini. Namun, ibuku tidak menerima ajakan om yang sangat empati dengan keluarga
kami selepas kematian ayah yang hingga saat ini belum terungkap sebab
kematiannya.
Aku sejenak berpikir andaikan saat itu ibu menerima
ajakan om, mungkin kami hidup bahagia dan aku tidak mungkin bernasib seperti
malam ini. Aku tau ibu hanya ingin menunggu agar kematian ayah di rumah tahanan
dikawal hingga motif kematiannya terungkap.
Sayangnya ibu bukan seorang aktivis pejuang keadilan untuk
menyuarakan nurani hati ini. Ibuku juga bukan seorang polisi yang bisa menginvestigasi
kasus. Harapan yang buram.
Tetapi suara kami belum parau, meski hanya dalam diam. Ibu
jangan berharap lagi, Desember sebentar lagi akan pergi dan tahun akan segera
berganti. Negeri ini juga akan berganti pemimpin, yang lain sudah menyelesaikan
tugasnya. Rasanya ingin berteriak‘Oh,
malam ketika kami diam kami berteriak’.
***
Ayahku yang
sehari-hari dikenal dengan nama Simon meregang nyawa dalam rumah tahanan.
Sesuai keterangan polisi, ayah mati lantaran gantung diri dengan ikat
pinggang pada lehernya.
Tragedi mengerikan menyisakan luka mendalam bagiku, ibu dan
adik. Tulang punggung keluarga telah hilang, dan takkan kembali lagi. Mengenangnya
dalam sunyi selalu mengundang tangis air mata. Mengenangnya selalu mengusik
tanya. Mengapa ayah? Mengapa?
Ayah, seandainya engkau bisa membaca dan menulis, kita
bisa berkirim surat soal kematian ayah serta
tentang semua kebobrokan dan kebejatan para pemegang kuasa negeri ini. Aku dan Ibu,
juga adik dan serta semua penghuni negeri ini telah larut dalam kesedihan
karena desember hampir tamat dan tahun akan segera berganti, namun kematian
ayah masih menjadi misteri. Akankah terungkap kematian ayah?
Ibu terbangun, mendapatkan diriku dalam cahaya lampu yang
meremang sunyi. Usi, mengapa belum
tidur? tanya ibu dengan nadah lirih.
Aku
tak bisa membohongi diriku pada ibu. “Aku sedang bergulat dengan kematian ayah
dalam rumah tahanan itu, Bu,” tuturku.
Lanjutku,
“Bu, mengapa ayah harus tewas dalam rumah tahanan, gantung diri ikat pinggang?
Tanyaku pada ibu?”
“Nak,
tak perlu tanyakan hal itu. Itu hal biasa,” tanggap Ibu.
“Maksud
ibu? desakku.
“Nak, soal tahanan mati
dalam rumah tahanan, itu hal biasa karena itu budaya kita, yang tak kalah
bersaing dengan budaya di ufuk barat,” jawabnya.
“Ah, aku tak percaya
itu Bu?’
“Sudalah nak, jika kamu
tidak mau percaya dengan ibu, kamu bisa tanyakan semua itu pada om Sepus lagi,
karena sebagai penguasa di negeri ini, Om tahu semua itu.”
Aku masih berang. Aku tidak mau tanggapi lagi dan aku
memilih untuk diam dalam kesunyian malam. Ibuku turut diam.
Mengapa ayah mesti gantung diri dalam rumah tahanan?
Mungkinkah ayah malu dengan kebejatannya? Ayah begitu tega meninggalkan aku,
ibu dan adik Tinus. Sangatlah sunyi rumah ini. Apakah, saat detik-detik kematian
ayah dalam rumah tahanan?
Sempat terpkir, ayahku, seorang pendosa. Ia nekat
menghabisi nyawanya sendiri. Tetapi aku tak percaya semua itu, karena ayah tak
biasa mengenakan ikat pinggang.
Aku kenal baik ayahku. Selama hidup bersamanya, ayah tak kenakan
ikat pinggang untuk celananya ataupun sarung yang biasa dikenakan saat hendak
ke pasar atau ke pesta. Ia hanya kenakan sehelai tui no meto.
Aku ingin bersuara di negeri ini, tapi apakah aku
didengarkan? Mungkin hanya sedikit orang yang akan merasa iba dengan setiap
kata dan jeritan dan tangisku. Tapi aku mesti bersuara!
“Bu, aku, tidak terima nasib ayah. Mengapa,
kasusnya belum terungkap?”
“Tenanglah
nak, bapa sudah bahagia di tempat keabadian.” Ibu berusaha menghiburku.
“Tapi
bu, mengapa kasus ini belum terungkap?”
“Sudalah nak, kita
sudah tahu melalui proses autopsi. Ayah murni gantung diri menggunakan ikat
pinggang.”
“Tidak Bu, ibu kan
sudah kenal ayah. Ayah tak pernah kenakan ikat pinggang pada celananya. Bu, ini
semua hasil manipulasi. Kita sedang dibodohi oleh segala kecerdikan dan
kepicikan para pemegang kuasa negeri ini.”
Ibuku, tertunduk diam.
Entalah, apa yang sedang direnungkannya. Air mata ibu menguncur deras,
berjatuhan di pipinya. Dari balik tirai kegelapan dan kesunyian malam, aku tak
kuasa menatap ibu dengan air matanya.
Air mata bukanlah harapan sebuah perjuangan. Air mata
adalah proses dari sebuah perjuangan. Ini adalah sebuah filosofi. Ibuku tak
mungkin paham bila aku akan mengatakan padanya.
Kini ayah telah tiada. Mungkin aku, ibu dan adik akan
tiada pasca pergantian tahun ini tiba. Saatnya kami menanti di rumah ini, akan terungkapnya
kasus ayah. Sebab rumah ini bukan rumah tahanan, melainkan penjara yang
adil.***(Dimuat pada koran HU Flores Pos, Selasa, 7 Februari
2017).
Catatan:
Nahe:dalam
bahasa dawan
‘
tikar yang terbuat dari daun lontar’
Usi:
sapaan manja seorang ibu bagi anaknya dalam budaya Timor (dawan).
Tui
no meto: tali gewang kering
Post a Comment