Cerpen Berdosakah Aku? (Oleh Vinsen Polli)

“Aku tahu siapa sebenarnya orang yang kamu cintai dalam hidupmu saat ini dan itu bukan aku, tetapi berdosakah aku bila aku jatuh cinta padamu.” Kata Chyanchy padaku.
Aku terdiam dan merenung beberapa saat, apa yang harus kukatakan pada Chyanchy..?

Perasaan yang tak bertepi menepik senja yang akan sirna. Perasaan itu adalah rindu. Rasa rindu yang berbalutkan sadisnya cekikkan angin malam. Kini aku terpaku diam menatap rembulan yang tak ada rasa kagum bagi diriku. Aku hanya ingin menantikan mentari pagi yang akan datang sebentar lagi, keluh hatiku. Aku menantikan mentari pagi lantaran fajar itu adalah energi yang membawa roh atau semangat bagi hidupku. Perasaanku yang tak bertepi, dikalahkan oleh mataku yang mulai sayup-sayup seakan meneguk secangkir moke.
Senja telah pergi, malam hampir larut, semuanya hanya dalam dunia imajinasi. Tidak, duniaku dunia riil. Oh,,,, malam yang hampir larut nan bisu, kumohon padamu pergilah bersama perasaanku yang tak bertepi ini ke jarak atau pulau yang lebih jauh lantaran aku hanya seorang diri tak ada yang menemaniku untuk merasakan artinya malam dalam suasana ini. Mungkinkah ini  adalah sebuah keindahan yang disebut kehidupan sejati? Saatnya aku harus beristirahat. Aku tak mampu menahan rasa kantukku lagi. Tuhan Yesus bersama Bunda Maria jagalah aku dalam istirahat malam ini agar aku bisa bangun pada esok hari dengan sehat dan selamat. Sujudku dalam doa.

***
Dari ufuk timur mentari menyembul indah membiaskan benih cinta dan hidup bagi dunia semesta. Kembali hadir wajah dia yang kukenal sehari yang lalu, dikala mentari mengusik hatiku dan kutatap penuh harap. Mungkinkah dia menatapku dibalik mentari yang membiaskan benih cinta dan hidup itu. Sesaat aku menerawang terbayang kembali paras cantik dan manis juga senyum mungil seindah mentari yang datang dan pergi tanpa pamit. Sapaan suaranya yang lembut kala itu menggema indah dalam kalbuku yang masih menyimpan sejuta rahasia untuknya. Akankah semuanya ini terungkap padanya? Kataku dalam hati.
Chyanchy bukan nama sebenarnya. Nama yang manis semanis orangnya dikala aku menatapnya berulang kali. Tapi, mengapa Chyanchy itu bukan nama sebenarnya tentang dia yang pernah kujumpai itu? Lantaran demikian, siapa nama sebenarnya! Bukankah nama itu merupakan representasi dari pribadi nama itu sendiri. Aku tak tahu mengapa perjumpaan kami harus seperti ini, berbeda dengan nama-nama penuh kenangan cinta yang pernah merajut mimpi bersamaku dalam pigura kemesraan. Nama! Ya, nama. Aku juga pernah memiliki sebuah samaran yakni Viction. Ah...itu sudah berlalu dan pergi mengapa aku harus menoleh ke belakang, bukankah masa depan sedang menantiku. Masa depan adalah harapan, aku harus menatap dan berjuang meraihnya dengan langkah yang pasti.
Mentari merona membiaskan cahaya kemilau nan indah, namun semuanya itu hampa lantaran pertemuanku bersama Chyanchy hanya sebatas perkenalan dangkal. Ini terus mengguncang hatiku, mengapa aku dan Chyanchy harus berjumpa dalam suatu detik yang tak disangka. Rupanya ia sudah mengenal diriku sebagai seorang calon religius lantaran setiap hari Minggu ia selalu mengikuti misa di kapela biara tempat aku diformat. Aku penasaran dengan statusnya namun akhirnya kudapat siapa dirinya, ternyata Ia seorang pribadi yang sedang mempersiapkan dirinya untuk menempuh sebuah jalur pendidikan. Ya, dia seorang terpelajar juga.
Adegan perjumpaan antara aku dan dia kembali mengguncang kalbuku lantaran perjumpaanku dengan Chyanchy yang tak disangka itu menjadi sebuah kronik kisah sejarah cinta bermula yang harus kembali dijejaki. Kala itu mata kami saling berpandangan namun hanyalah sebuah tatapan tanpa arti lantaran kata dan kalimat dijerat lidah yang tenggelam dalam kebisuan. Pertemuan singkat kami berakhir dengan sebongkah senyum dan secuil tawa sebagai pesan dari perjumpaan kami kala itu. Hatiku berkelana di atas pentas sejarah cinta berawal, mungkinklah hatiku dan hatinya merasakan dorongan cinta yang sama ataukah hanya sebatas parodi cinta erotis yang lagi ganas. Tidak, aku sangat yakin cintaku dan cintanya adalah cinta romantis yang bermuara pada cinta sejati. Aku tak bisa membohongi diriku bahwa Chyanchy sunguh istimewa di  mataku. Aku tak bisa membiarkanya menjadi milik orang lain.

Ilustrasi
Angin berhembus secara perlahan membawa pergi kisah ini, waktu mengalir tanpa henti yang tinggal hanyalah jejak rintihannya. Di penghujung bulan dan tahun yang akan berakhir  tepatnya pada hari minggu aku sedang sibuk menghabiskan sebuah buku bacaan di kamarku. Sontakku, ketika dipanggil oleh seorang teman bahwa ada seseorang yang ingin menemuiku dan sedang menunggu di ruang tamu. Aku keluar dengan penuh tanya siapa sebenarnya yang ingin menemuiku, aku seakan-akan tidak percaya. Namun, terus diguncang oleh perasaan ingin tahu akhirnya dengan terburu-buru menuju ruang tamu mencari tahu siapa sebenarnya yang ingin menemuiku hari ini. Diriku bagai berada dalam sebuah taman indah dengan gaung musik instrumen klasik ketika melihat sosok berparas cantik yakni Chyanchy yang sedang menunggu penuh harap. Rupanya senyum mungilnya masih nampak mengingatkanku pada pertemuan pertama di sebuah toko buku kota biru.
Aku langsung meraih tangannya dan menggenggamnya sambil memberi salam padanya.
Selamat pagi Chyanchy! Sapaku. Pagi kak......sahutnya dengan nada lirih
Aku terjebak dengan suaranya yang begitu lirih dan akhirnya aku tak mampu mengucapkan kata-kataku lagi, meskipun masih kugenggam erat tangannya di sebuah bangku yang tersimpan di pelataran pendopo itu.
 Kak.., maafkanlah aku, mungkin kehadiranku mengganggu keberadaan kakak di sini!
Tidak apa-apa, jawabku. Namanya juga hidup, apa artinya hidup bila tanpa perjumpaan dan pertemuan yang mempersatukan setiap insan manusia dengan manusia lain.
Iya, tapi kak...?
Cukup, aku paham..! cegatku.
Sambil menggenggam tangannya penuh erat, dalam nada lirih ia berkata padaku, “ kamu hebat..!”
Aku semakin tak mengerti lagi dengan apa yang dikatakannya padaku. Katanya lagi: Meskipun aku tahu bahwa jalan kita bersimpang, tapi aku tak tahu bagaimana mesti  memendam rasa cinta yang terus mengguncangku disetiap detik hidup ini. Akupun tak tega membiarkan kamu berjalan sendirian tanpa ada cinta untuk memotifasi cintamu yang sesungguhnya bagi Dia yang telah memanggilmu dan yakinlah bahwa kukan bersamamu selalu di jalan hidup ini dengan cinta seadanya. Chyanchy menatap dengan tatap manja, menyiratkan keaggunan dan kedewasaan dirinya yang terus membias pada dinding-dinding hatiku bagai mentari bagai mentari di ufuk Timur. Aku sangat heran, ketika ia mangalihkan pandangannya pada sebuah gambar yang dipajang pada dinding pendopo tempat kami berteduh,  yakni lukisan Bunda Maria Berdukacita (Via Dolorosa) sedang memangku jenasah Yesus.
Tanyaku pada Chyanchy lantaran sikapnya yang sedikit aneh, "Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?"
“Tidak, aku hanya....?” jawabnya dengan sedikit bergumam. Ia diam sejenak dan melanjutkan perkataannya, sambil menunjuk pada lukisan itu dan mengatakan bahwa kamu adalah milik dari kedua pribadi itu. Lalu ia langsung mengajakku mengalihkan pandanganku pada sebuah taman kecil di pelataran pendopo itu, katanya lagi, “dirimu seindah mawar itu, namun sayangnya mawar itu sulit dipetik lantaran tumbuh di tepi jurang.

            Chyanchy, memang terpelajar. Apa yang dikatakannya selalu sesuai dengan realitas diriku. Namun, aku coba untuk menjawab pernyataannya. “Tapi, andaikan aku adalah mawar aku tak mungkin tumbuh di tepi jurang, karena itu bukan tempat aku hidup. Andaikan aku adalah mawar aku hanya akan tumbuh di dalam hatimu menjadi sebuah taman yang indah dan menjadikan hatimu lebih memesona tempat aku melepas rindu bersamamu." Kataku sembari menatapnya. Sambil mencubit tanganku Chyanchy tak bisa berkata lagi lantaran jawabanku melumpuhkannya. Kami saling menatap dalam kebisuan. Tak ada satu insan pun yang menemani kami, pelataran dan taman kecil menjadi saksi cinta kami bermula.
Kak...? Sapanya,
Iya...! Sahutku.
“Aku tahu siapa sebenarnya orang yang kamu cintai dalam hidupmu saat ini dan itu bukan aku, tetapi berdosakah aku bila aku jatuh cinta padamu.” Kata Chyanchy padaku.
Aku terdiam dan merenung beberapa saat, apa yang harus kukatakan pada Chyanchy..?
“Pernyataanmu apakah engkau berdosa bila jatuh cinta padaku, bukan sebuah kebenaran karna cinta itu gejolak rasa yang hidup dan bersifat positif, karena itu cintamu untukku adalah gejolak rasa yang mesti dilebur dalam kata dan tindakan  bukan dosa. Kataku sambil menatap Chyanchy yang berlagak seolah berdosa padaku. Aku hanya menatapnya, kubiarkan hati inilah yang menyentuh tubuh mungilnya, hingga ia tersenyum padaku.
            Chyanchy, sesungguhnya engkau mengetahui perasaan hatiku dan pernyataanmu menjawabi kerinduanku selama ini yang selalu kusangsikan sejak awal perjumpaan kita. Kini sudah nyata, karena itu ijinkanlah aku tuk mencintaimu lebih dari yang diharapkan oleh dirimu. Cinta yang telah terungkap merupakan anugerah terindah Sang Ilahi sebagai sumber asal cinta kita, karena jangan pernah berpikir bahwa engkau berdosa bila mencintaiku.” Kataku dalam nada motivasi. Aku tak sanggup menatap Chyanchy dengan air matanya yang mulai menepis bola matanya, akhirnya kuraih tubuhnya dan kupeluk erat biarlah ia tersedu dalam pelukanku. Aku dan Chyanchy tidak berdosa sekecil apapun karena kami saling memberi. Memberi cinta.
            Dengan suara terbata-bata, Chyanchy berbisik padaku, ”Terimakasih atas pengertianmu dan raihlah panggilanmu, bersama cinta yang kuberikan padamu dan doaku kan selalu menyertai perjuangan panggilanmu.
“Selamat berjuang”. Sambung Chyanchy sambil mohon pamit dariku diakhir perjumpaan kami. Dengan langkah beralun Chanchy meninggalkan pendopo kecil itu, aku hanya bisa menatapnya dengan lambaian tangan sebagai pesan bahwa antara aku dan dia tak ada lagi sekat yang memisahkan kami meski jalan ini bersimpang. Cinta telah melahirkan kami dan kami benar-benar hidup dalam cinta. Tatkala kami tiada, cinta ini akan terus bersuara memanggil dan mengenang kami dengan kata cinta dalam bahana keabadian waktu.***



5 comments: