Peletak dan Perintis Sastra NTT (Mengenang 100 Hari Kepergian Gerson Poyk)
Oleh Vinsensius
Polli
Peminat sastra tinggal di Ende
Jiwa terlumur dalam rindu, sepi hampa dalam tawa selepas mengenangmu,aku dan kami sangat rindu, rindu yang sangat dalam padamu.
Makna kata dan
kalimat makin dalam karna rindu makin menggebu penulis mengenang Gerson Poyk,
sastrawan ulung NTT, setelah 100 hari kepergianya. Ada kerinduan membara untuk
bertemu sang sastrawan ini dan ingin belajar menulis pada garis yang lurus. Mencari
dan menemukan jiwanya tak mungkin lagi. Mencari dan menemukan dia dalam kata
dan kalimat mungkin saja, bagi yang ingin mencarinya.
Gerson Poyk |
Gerson
Poyk, sang maestro juga sastrawan ulung dari NTT telah meletakkan dan merintis
dunia sastra. Kabar kematiannya bagai sendu menyayat nadi muda-mudi Indonesia
dan khususnya muda-mudi NTT pencinta sastra yang pernah mengenal dirinya dari
dekat ataupun pernah membaca karya-karyanya (Puisi, Cerpen dan Novel). Pada
Jumat, 24 Februari 2017, pukul 11:00 WIB di Rumah Sakit Hermina, Depok, Jawa
Barat Gerson Poyk sastrawan ulung menengadah, menutup mata dalam diam menghadap
sang Khalik untuk selama-lamanya. Gerson Poyk meninggal dalam usia 85 tahun.
Isak tangis keluarga, sahabat
kenalan yang hadir pecah dan melengking di tengah keramaiaan Rumah Sakit Hermina
Depok. Kabar duka tersiar ke seantero Indonesia hingga di tanah kelahiran sang
maestro sastra di NTT.
Para pencinta sastra seantero Indonesia
menangisi kepergian tokoh besar sang inspirator dalam dunia sastra. Media
online, media sosial, media massa serentak mengabarkan kidung duka tentang
kematiaannya.
Gerson Poyk putra pasangan
Johanes Laurens Poyk dan Juliana Manu kelahiran Namodale, Pulau
Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 juni 1931, menikah dengan Atoneta Saba, dan
dikaruniai lima orang anak. Dalam biografi yang saya temukan dari
beberapa karyanya dikisahkan bahwa, Gerson Poyk mengawali
kariernya sebagai seorang guru.
Setelah beberapa waktu meniti
kariernya sebagai guru, dirinya memilih untuk menjadi wartawan hingga mengantarnya
meraih banyak penghargaan jurnalistik Adinegoro. Beberapa saat kemudian Gerson
berhenti profesi sebagai wartawan dan memilih sebagai penulis lepas di beberapa
media cetak Indonesia. Pada titik ini karya-karya Gerson mulai terkuak dalam
dunia sastra, apreseasi dan penghargaan diraihnya dari tingkat Nasional hingga
Internasional. Misalnya Cerpen awal Gerson yang sangat menggugah berjudul
“Mutiara di Tengah Sawah” (Majalah Sastra, Nomor 6, Tahun I, 1961) dan
mendapat hadiah dari Majalah Sastra sebagai
cerpen terbaik majalah itu pada 1961 (Gerson Poyk perintis sastra di NTT, Blog www.yohanessehandi.blogspot.com).
Mendengar kabar kematiannya, saya
sangat merasa kehilangan tokoh inspirator dalam dunia sastra, meskipun saya
bukan seorang sastrawan ataupun penyair. Saya hanyalah pencinta dan penikmat
karya sastra yang memiliki keterpikatan dalam karya-karya Gerson yang selalu
dijadikan santapan ringan di saat senja datang mendekam. Sayapun tak pernah bertatap
muka ataupun berdialog dengan sang maestro sastra ini. Melalui racikan karya-karyanya (Novel dan
Cerpen) yang begitu unik, sederhana dan menyenangkan, pribadi saya mengalami
kedekatan batin dengan dirinya.
Siapapun yang pernah
mendengar ataupun membaca karya-karyanya pasti akan merasa sangat kehilangan tokoh
sastrawan ulung asal NTT. Kidung duka menggema di telinga para penyair dan
sastrawan. Sajak-sajak para penyair dan satrawan mengungkapkan bahwa sastrawan
muda NTT kehilangan tokoh besar. Bukan
hanya para sastrawan muda NTT, juga kami para pecinta dan penikmat sastra yang
nama dan wajah kami tidak pernah di kenal oleh Gerson ataupun dalam barisan nama
sastrawan ternama di NTT.
100 hari yang lalu, tangis air mata
dan doa kami turut mengiringi kepergianya menuju rumah keabadian. Di sanalah maestro
sastra akan membaca surat-surat cinta dari kami para pencinta anonim yang hanya
menikmati karya-karyanya dalam bentuk cerpen dan novel. Novel Cumbuan
Sabana (1979), Gerson begitu peka dan geli melukiskan realitas keunikan
kebudayaan dan keindahan alam NTT yang eksotis. Di sinilah Gerson terpanggil
melahirkan NTT dalam karya-karyanya. Saat itu pula Gerson turut melahirkan pertiwi
Flobamora ke dalam dunia sastra. Dia telah tiada, namun karya-karyanya akan
selalu menghadirkan pribadi Gerson bagi siapapun yang ingin mengenangnya.
Mimpi adalah “Via Regia, Jalan Kedunia Tak Sadar, Sastra Saya Jalan Ke Utopia”, demikian
kicauaan Goenawan Moehamad pada akun twiternya
ketika mendengar bahwa sang Maestro telah pergi meninggalkan dunia ini.
Ungkapan yang sarat makna mengandung ungkapan rasa kehilangan dan rasa turut belangsungkawa
atas meninggalnya sastrawan ternama Indonesia. Kicauaan Jurnalis senior Moehamad
Goenawan ini merupakan ungkapan dari sang maestro sastra selama meniti hidupnya
sebagai sastrawan, sembari mengenang sastrawan ternama Indonesia yang sangat
berpengaruh dalam dunia sastra.
Kicauaan Goenawan Mohamad merupakan
ungkapan reflektif untuk menghadirkan kembali seluruh kehidupan sang maestro dalam
dunia sastra yang mesti dikidungkan dalam dunia nyata. Kata dan kalimat telah
mengukir namanya, syair-syair akan terus mengidungkan kehidupannya dalam dunia
sastra yang sudah dikenal para pecinta dan penikmat sastra. Gerson telah
membingkai sejarah NTT dengan pena emas yang tidak akan terhapuskan. Sejarah
sastra NTT telah tercatat nama Gerson Poyk sebagai peletak dasar dan perintis
jalan terbentuknya sastra di NTT yang mesti terus mengimprovisasi diri untuk
lahir dalam dunianya.
Selamat menikmati tanah air
keabadian beristirahatlah dalam damai wahai sastrawan ulung, doakan kami para
pencinta karya-karyamu agar lahir dalam mimpimu, Via Regia.***(Di muat
padaHarian Umum Flores Pos, Kamis,8/6/2017, hal.1&19).
Ingin lahir dalam karya-karyanya.
ReplyDelete