Jalan Pulang: dan Tak Pulang Lagi
(Sebuah goresan jalan pulang)
(Foto ilustrasi:isolation) |
Pada suatu waktu, tepanya di penghujung malam, anak kampung dadolek tiba-tiba saja diam dan menunduk. Ia terus diam dan menunuduk sunyi, tapi tak pasrah. Ia tenggelam dalam sunyi seakan dihempas pekatnya malam.
Tak lama kemudian kepalanya menggeleng. Kerongkongannya bergerak, seperti sedang menelan sesuatu melewati kerongkonganya. Bunyinya nyaris terdengar.
“Mungkin dia menelan ludahnya”
“Dia haus”
“Tidak!”
“Asam lambungnya naik”
“Tidak juga”
“Dia hanya berusaha menetralkan rasa sesah yang timbul di dalam dadanya”
“Beri dia sedikit air: dingin”
“Tidak boleh. Nanti dia menggigil!”
***
Anak kampung dadolek itu tampak menelusuri tapak-tapak dingin yang telah dilaluinya sepanjang jalan tapanya.
Luka, derita, tawa, gelisah dan air mata dikenangnya dalam-dalam di penghujung malam itu. Hatinya hancur, patah berkeping. Terkenang kerikiil-kerikil jalanan yang melukai kakinya di setiap perhentian jalan pulangnya.
“Katanya dia pulang, tapi selalu pulang kembali”
Tak banyaknya yang diingatnya, seberapa banyak ia pulang lalu kembali. Tapia da banyak luka dan tawa tertanam disana, berbaur menjadi satu. Menorehkan kisah indah dan pelik di dalam bait hidupnya.
“hihihihiiiiiii”
Anak kampung dadolek terisak tangia, membiarkan air matanya jatuh bebas, tanpa disekanya.
“hihihihihihiiiiiiiiiiiiii”
“hihihihihihiiiiiiiiiiiiii”
“hihihihihihiiiiiiiiiiiiii”
Tangisannya kian menjadi, suaranya memecah keheningan malam.
“Perih pedih, hancur!”
“Kala itu aku dikatai begitu hebat. Ibuku juga saudariku mendapat bagiannya. Dikatai meski tak pernah melukai,” suara anak kampung dadolek itu terbata mengurai setiap kata yang diucapkan dari dalam dadanya, nyaris tak terdengar.
Kali ini dia benar-benar pulang, “aku pulang: dan tak pulang lagi”. Dan aku menulis dengan ikrar yang dalam ini “Jalan pulang: dan tak pulang lagi”. Solipsis
*Dadolek: jelek,kotor, dan kumuh.
TdM, 19/04/2020
Post a Comment