Mari dan Lihatlah: Renungan Pesta St. Bartolomeus-Rasul, Edisi Senin, 24 Agustus 2020
*Oleh P. Steph Tupeng Witin, SVD
Bacan I: Wahyu 21:9b-14
Bacaan Injil: Yohanes 1:45-51
Kapel Biara Santo Yosef Frainademtz Noemeto, Kefa/ Foto Vinsen Polli |
Filipus telah menemukan Mesias dalam diri Yesus dari Nazaret. Dengan antusias ia memberitahu Natanael, temannya dari Kana. Pasti ia ingin berbagi kegembiraan karena telah menemukan dan berjumpa dengan Tuhan.
Namun Natanael anggap angin lalu saja berita itu, sebab dalam Perjanjian Lama tak pernah tertulis nubuat bahwa Mesias akan datang dari Nazaret. Menurutnya, pun tak mungkin sesuatu yang baik datang dari Nazaret (Yoh 1:46).
Nazaret dan Kana sama-sama di daerah Galilea. Waktu itu persaingan dan pertentangan penduduk antar kota sangat kuat. Mereka saling klaim bahwa kotanya yang paling baik, paling hebat. Mereka saling meremehkan, menjelekkan dan menghina satu sama lain.
Filipus tak mau berdebat dan adu argumen dengan Natanael. Ia hanya berkata, "Mari dan lihatlah!" (Yoh 1:47). Ia pun tak pongah dan bersikukuh menunjukkan bahwa Ia sudah bertemu Tuhan dan bahwa ada sesuatu yang baik datang dari kotanya. Bagi Filipus, ngapain berdebat karena sering malah membawa akibat buruk. Maka ia langsung mengajak Natanael berhadapan dan melihat langsung, face to face dengan Yesus. Bukan saja agar terbukti bahwa ada sesuatu yang baik juga dari kotanya. Tapi lebih penting dari itu agar Natanael pun boleh mengalami kegembiraan karena bisa ketemu dengan Tuhan.
Memang sering kita terjebak untuk berdebat dan berkonflik hanya karena masalah sepele atau mau tunjukkan siapa yang terbaik, yang paling hebat. Padahal apa untungnya berkonflik kalau pada akhirnya justru berakibat terganggu bahkan bubarnya persahabatan dan persaudaraan? Memang ujungnya yang satu akan menang dan bersukacita. Tapi bukankah yang lain justru terperosok dalam jurang kekalahan, merasa kalah, tak bahagia?
Ada hal yang jauh lebih penting, yakni sama-sama mengalami sukacita, sama-sama melihat dan bertemu dengan Tuhan. Lebih penting membawa orang lain kepada Tuhan. Di hadapan Dia, kita bisa menemukan diri kita yang sesungguhnya dan dalam Dia, kita bisa merasakan kebahagiaan dalam kebersamaan dan keutuhan. Tidak yakin?
Ketika melihat Natanael, Yesus berkata, "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya" (Yoh 1:47). Saat Natanael heran bagaimana Yesus bisa mengenal dirinya dalam pertemuan sekejap itu, Yesus melanjutkan, "Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara".
Terbukti khan? Di hadapan Tuhan, Natanael justru "dipuji" sebagai manusia yang bermartabat sebagai orang Israel sejati, tanpa kepalsuan. Di hadapan Tuhan ia tak merasa terpojok dan terpuruk karena pandangan dan sikapnya.
Memang jauh lebih bernilai mengajak orang kepada Tuhan. Biarlah di hadapan Tuhan, orang bisa mengalami sendiri siapakah dirinya. Dia pasti akan tahu bahwa ia salah tapi sekaligus ia mendapat pujian dari Tuhan yang bisa membuat hidupnya berubah.
Ketimbang menang dengan menjatuhkan Naranael, Filipus justru mengajak dan membawa Natanael kepada Tuhan. Dengan itu Filipus pun tentu akan terangkat martabatnya di mata Tuhan karena ia telah membawa Natanael kepada Tuhan.
Terkadang ada kecenderungan bahwa kita ingin membuktikan bahwa kita sudah berhasil, sukses. Kita yang dulunya tak ada apa-apanya, kini kita sudah jadi orang top. Kita ingin orang tahu bahwa kita sudah berubah jadi baik. Kita berbangga bahwa keluarga kita tidak seperti yang dulu lagi.
Hari ini kita belajar dari Filipus. "Mari dan lihatlah!", itulah langkah yang paling baik, yang kita ambil setelah kita menemukan Tuhan. Kita mengajak orang lain untuk datang dan bertemu dengan Tuhan. Setelah kita sukses, terangkat derajat dan status, kita mengajak orang lain untuk datang dan bertemu dengan Tuhan.
Kita juga belajar dari Natanael. Kita sambut ajakan sesama kita. "Mari dan lihatlah!" adalah ajakan baik yang patut kita ikuti. Kita tak perlu bersikukuh dengan persepsi, prinsip, pendirian kita bahwa kita sudah hebat, kita lebih baik dari orang lain. Kita tak perlu merasa terhina karena ternyata orang lain sudah lebih baik dan sukses. Di hadapan Tuhan, kita pun akan mengalami bahwa kita tetap bernilai, pribadi yang bermartabat.***(Penulis Imam Serikat Sabda Allah, Tinggal di Biara Soverdi Bukit Waikomo, Lembata)
Post a Comment