OMK : MASIH RELEVANKAH DI TENGAH KEHIDUPAN GEREJA?
Bertolak
dari pernyataan St. Carolus Boromeus bahwa kaum muda adalah “tulang punggung Gereja”, penulis terinspirasi untuk membahas
peran Orang Muda
Katolik (OMK) dalam kehidupan Gereja Kristiani.
Sejauh ini dapat diketahui bahwa OMK yang memiliki andil dalam bekerja
menyukseskan karya pelayanan Gereja. Bukan tidak mungkin setiap kegiatan atau
perayaan-perayaan dalam
Gereja akan berjalan baik bila partisipasi OMK turut mengambil bagian secara aktif dan partisipatif. Namun dalam realitas terkadang partisipasi OMK
melenceng jauh dari harapan Gereja dan dalam tubuh OMK masih
dipertanyakan dan jauh dari yang diharapkan Gereja.
Berhadapan dengan realitas yang terjadi, penulis
mengajak para pembaca untuk melihat kembali kehidupan Omk di paroki-paroki dan
keuskupan kita. Dunia saat ini dengan pelbagai kemajuan dan tantangan. Kemajuan
dunia yang pesat turut serta mempengaruhi peran serta kaum muda dalam kehidupan
menggereja. Pertanyaannya adalah sudah sejauh mana OMK menjadi agen dalam
membantu mewujudkan misi Gereja di tengah dunia dewasa ini? Masih relevankah
berbicara tentang peran kaum muda berhadapan dengan mentalitas mereka yang kian
hari tergerus oeh arus zaman dewasa ini?
OMK: SELAYANG PANDANG
Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa istilah yang
familiar sebelum adanya OMK adalah Mudika. Yang dimaksud dengan OMK menurut Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda (PKPM) yang
dikeluarkan Komisi Kepemudaan KWI adalah mereka yang berusia 13-35 tahun dan
belum menikah, sambil tetap memperhatikan situasi dan kebiasaan masing-masing
daerah. Kaum muda (youth) adalah kata
kolektif untuk orang yang berada pada rentang umur 11-25 tahun. Sedangkan Komisi
Kepemudaan KWI mengambil batas usia 13-35 tahun. Rentang umur ini merujuk pada
buku Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda dan Keputusan Badan Koordinasi
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda No.01/BK tahun 1982
tentang petunjuk Pelaksanaan Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda yang
dikeluarkan oleh Menpora tahun 1985. Rentang umur tersebut menunjukkan bahwa
kaum muda terdiri atas usia remaja sampai dengan dewasa awal. Rentang umur tersebut
dikategorisasi lebih rinci demi efektivitas pendampingan. Kategorisasi tersebut
sebagai berikut:
1.
Kelompok usia remaja (13-15 tahun)
2.
Kelompok usia taruna (16-19 tahun)
3.
Kelompok usia madya (20-24 tahun)
4.
Kelompok usia karya (25-35 tahun)
MELIHAT REALITAS YANG TERJADI
Gereja
Kristiani hadir sebagai sebuah institusi dengan spiritualitasnya membawa
keberanekaragaman di antara Gereja dan
agama lain. Spiritualitas Gereja yang sangat fundamental berlandaskan pada
hidup Yesus Kristus mesti diperkuat oleh anggota-anggota Gereja dan terutama
kaum muda (OMK) yang merupakan kekuatan
pertama dan utama kehidupan Gereja itu sendiri. Hingar-bingar perkembangan Gereja dan
arus zaman dewasa ini memiliki daya pikat
tersendiri bagi kaum muda. Dan kaum muda berada dalam proses memilih;
mau mengikuti yang mana? Hal ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang
berlangsung sepanjang sejarah hidup manusia.
Gereja
memandang pentingnya peran kaum muda. Gereja menginginkan agar masyarakat yang
akan dibangun harus menghormati martabat, kebebasan dan hak-hak individu.
Bapak-bapak Gereja orang—orang muda mengetahui
dan memahami dasar-dasar ajaran sosial Gereja Katolik. Harus dipahami bahwa
keterlibatan atau partisipasi kaum muda (OMK) dalam kehidupan Gereja merupakan
suatu kekuatan dalam karya pewartaan Gereja
yang menjadi eksistensi dan jati diri Gereja Universal.
Kemampuan kaum muda dalam memimpin dan
berorganisasi membuka peluang besar untuk terlibat sebagai aktivis politik
praktis. Kaum muda (OMK) merupakan manusia sosial dan beriman yang dilahirkan
dan bertumbuh dalam kehidupan masyarakat dan Gereja. Bukan tidak mungkin kedua
dimensi kehidupan ini mempunyai daya pikat untuk pribadi kaum muda. Namun,
perlu dipahami bahwa yang menjadi kekuatan dan jati diri kaum muda adalah
Gereja yang memberi roh (semangat) dan juga memperkokoh iman kaum muda dalam
kehidupan sosialnya. Oleh karena
Gereja yang membentuk jati diri kaum muda maka sebelum terjun ke dalam dunia
politik praktis, kaum muda dianjurkan melihat
kebutuhan-kebutuhan karya pewartaan Gereja dan di sinilah peran kaum muda
sangat ditekankan. Peran kaum muda dalam karya
pewartaan Gereja akan lebih nampak dan mencapai tujuan yang diharapkan bila
mereka pertama-tama rela terjun dalam kehidupan Gereja dan
merasuki kehidupan Gereja dari dalam lewat kesaksian hidup mereka. Gereja
menetapkan kaum muda (OMK) pada posisi terdepan untuk melawan paham-paham dari
luar Gereja yang mempertanyakan eksistensi Gereja Katolik akan nilai-nilai
moral Kristiani yang menjadi kekuatan iman kristiani. Dengan
demikian, kehadiran kaum muda jangan
sampai hanya memberi harapan kosong bagi Gereja lantaran mereka tidak berbuat
apa-apa untuk Gereja.
FENOMENA PERAN OMK
DALAM GEREJA
Paus Yohanes Paulus II pernah menyerukan bahwa kaum muda dipanggil
untuk menciptakan suatu dunia yang lebih baik dan Gereja memberi harapan itu
penuh pada kaum muda. Di tengah perkembangan Gereja saat ini, dapat dilihat
bahwa ada keterlibatan OMK dalam kehidupan Gereja, tetapi dinilai kurang
relevan. Hal ini dilihat oleh penulis sendiri. Ketika penulis beberapa kali mengikuti kegiatan temu OMK, sempat didiskusikan dan ditemukan
fakta tentang kecenderungan
partisipasi OMK yang dinilai bersifat momental. Seringkali partisipasi OMK hanya nampak dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat momental seperti: Youth Day, Pekan OMK, Natal dan Paskah (NAPAS), akhir tahun dan awal tahun.
Quo Vadis OMK? Charles M Shelton dalam bukunya Spiritualitas Kaum
Muda mengutarakan bahwa dalam bidang iman dan praktek keagamaan , kaum muda
berusaha untuk menginterpretasikan realitas dengan menggunakan penalaran
konkret. Kaum muda akan mencari motif-motif dan jawaban-jawaban atas realitas
yang dialami “Mengapa kita pergi ke Gereja?; Mengapa saya beragama katolik?”,
dalam konteks tulisan ini “Mengapa saya harus menjadi OMK?” Gagasan yang
diutarakan Shelton merupakan sebuah kajian yang berupa refleksi yang akan
menghantar pribadi kaum muda(OMK) untuk mengenal jati dirinya.
Fenomena
partisipasi OMK yang dinilai bersifat momental perlu perhatian serius dari kita
bersama (umat) dan pejabat Gereja yang merupakan kekuatan utama Gereja itu
sendiri yang hidup berlandaskan pada pola hidup Kristus. Kita tidak bisa hanya melihat dan
berkomentar lepas tanpa ada dialog dan sikap profetik untuk memperbaiki dam
membaharui kehidupan OMK yang saat ini dinilai melenceng jauh dari harapan
Gereja.
MENGEMBALIKAN JATI DIRI
OMK
Dalam
pendampingan, OMK harus dipandang
sebagai pribadi yang sedang berkembang. Mereka memiliki ciri khas dan
keunikan yang tak tergantikan, kulaitas, bakat dan minat yang perlu dihargai. Mereka
empunyai perasaan, pola pikir, tata nilai, dan pengalaman tertentu, serta
masalah dan kebutuhan yang perlu dipahami. Mereka memiliki hak dan kewajiban,
tanggung-jawab dan peran tersendiri yang perlu diberi tempat. Semua itu
merupakan potensi untuk dikembangkan dalam proses pembinanan, sehingga kaum
muda dapat berperan secara aktif-positif dalam kehidupan keluarga, Gereja dan
masyarakatnya. Hendaknya OMK diberi kemungkinan, kesempatan, kepercayaan dan
tanggung-jawab sebagai subyek dan pelaku utama dalam proses bina diri dan
saling bina. Mereka bukan lagi bejana kosong yang perlu diisi dengan atau lilin
yang harus dibentuk menurut selera para pembina. Dengan demikian, segala bnetuk
pembinaan yang sifatnya menggiring, mendikte, mmengobyekan dan memperalat kaum
muda demi suatu kepentigan di luar perkembangan diri mereka dan perab serta
tersebut di atas haruslah dihindari dan dihilangkan. Hakekat pembinanan kaum
muda, sebagai karya pastoral adalah pelayanan dan pendampingan. OMK merupakan panggilan pemuridan dalam Gereja yang
berpartisipasi sebagai umat Allah dalam mewujudkan iman Gereja.
OMK sebagai
sebuah wadah mampu melahirkan membangun integritas atau keutuhan hidup yang
dengannya mampu mematangkan pribadi-pribadi kaum muda yang ada di dalamnya.
Dalam mencapai proses kematangan integral ini
akan ada warna baru dalam kehidupan OMK. “Think
Globaly and Act Localy”; OMK harus mampu berpikir secara global
dan bertindak secara lokal dalam hal ini mampu mentransformasikan diri dalam
Gereja menjadi kekuatan imannya. Dengan integritas yang dimiliki dapat
memampukan mereka untuk
bertindak secara tegas dan disiplin dalam keterlibatannya dalam hidup
menggereja.
Di sinilah eksistensi pribadi OMK akan nampak.
PENUTUP
OMK mesti terlibat penuh dalam kegiatan
Gereja dengan turut bekerja dalam karya pewartaan Gereja. Partisipasi OMK
semestinya
bukan partisipasi momental, dalam arti
tidak hanya menunggu kapan ada kegiatan besar dalam
Gereja, tetapi sadar akan perannya tulang punggung
Gereja, punya inisiatif dan kreativitas sehingga tidak terkesan hura-hura (ikut ramai)
atau menunjukkan diri agar bisa dikenal banyak orang. Dengan
demikian, kehadiran
OMK di tengah dunia dapat menjadi garam dan terang bagi dunia sebagaimana yang
disuarakan oleh Paus Yohanes Paulus II. (Vinsen Polli, Tulisan pernah dimuat dalam Majalah
Lentera Novisiat SVD Nenuk, Edisi 2016, hlm 1-5)
Daftar
Pustaka
Towary Salvtor,SVD. Pesan-Pesan St. Yohanes Paulus II untuk
orang muda. Fidei Press: Jakarta, 2015.
Shelton M. Charles. Spiritualitas Kaum Muda. Kanisius:Yogyakarta, 1999.
Post a Comment