Litani Tentang Rindu yang Terlarang

(Curahan Hati (curhat) gadis yang galau)

 
di Timur, dekat matamu
tetesan embun perlahan
lenyapkan dahagaku
tentang si pria yang
datang berpuisi
di beranda rumahmu
seminggu yang lalu

Kau bersaksi
pada bundamu bahwa
kau jatuhkam rindu
pada belahan jiwanya
dan ‘kucinta dia bunda’
dengan hatiku
bukan dengan matamu bunda
Ilustrasi
Kau kisahkan padaku demikian,
"Setiap senja
aku selalu merenung
di jendela kamarku. Aneh, tapi nyata.
Setiap kali aku merenung, selalu
ku dengar bisikan bunda
nan syahdu.
Bunda berdoa. Dan air mataku
tumpah,
banjir bandang di jendela kamarku
bunda tak tahu,
tapi aku tahu
bunda lagi sembahyang".

Aroma pria tampan itu
sesak di dalam jiwaku dan juga tubuhku.
Benar kata Driyakara "manusia itu badan yang menjiwa 
dan jiwa yang membadan. Tubuh dan jiwa tidak bisa 
dipisahkan".
Aku tak mau rindu. Namun,
tampannya yang acuh, 
desakku untuk rindu kuat-kuat.
 ....
"bunda mememeluk diriku
dengan dua tangannya.
Bunda tak mencium aku,
bunda tak bahagiakan aku
Aku harus pasrah.

Aku bahagia,
pria itu hanya mengirimiku SMS,
dan ia menciumku dalam SMSnya
dengan hidungnya,
tapi tidak mancung seperti
pria Manggarai yang
pernah bermain mata
denganku, tepatnya
di lampu merah
patung Kirap Oebobo,
Kupang.
...
Malam ini lagi
hingga petang
aku sangat rindu pria tampan
yang pernah singgah dan
berpuisi di beranda rumahku
rinduku
akan tanah kelahirannya:

tempat ayahnya menanam tali pusatnya ketika
ia dilahirkan.

Satu lagi,
saya rindu ingin duduk menyeruput 
kopi bersama ayah dan ibunya sambil
makan jagung bunga dan keripik pisang.(VP)***

No comments