Ketekunan dan Kesetiaan Lahir dalam Perjuangan Hidupnya (Syafrudin Yusuf: Tukang Sol Sepatu di Jalan Soekarno Ende)


“Pak, saya tidak bisa makan di warung dengan makanan yang enak, sedangkan istri dan anak saya tidak makan seperti apa yang saya makan. Ini sulit bagi saya untuk melakukannya. meskipun makanan di rumah apa adanya, saya bersama istri dan anak-anak harus menikmati dalam kebersamaan dan kesederhanaan kami. Sebagai kepala keluarga, saya tidak tega pak makan di warung sendirian,” katanya nada kesal. 

Syfarudin Yusuf


 Oleh Vinsensius Polli 
Wartawan Flores Pos Ende

            Ruas Jalan Soekarno tepatnya di perempatan lampu merah Kota Ende tak pernah sepi. Mungkin, tempat yang sangat strategis lantaran berada di pusat pembelanjaan bagi masyarakat Kota Ende dan sekitarnya. Tidak terlepas juga dari beberapa ikon Kota Ende diantaranya; Lapangan Perse (Pancasila) dan Taman Renungan Bung Karno, Rumah Tenun Ikat dan Pantai Ria yang sering dikunjungi oleh banyak orang. Namun, biarlah suasana yang ramai itu menjadi bisu lantaran tak ada kata yang mampu mengisi tanya yang retoris ini.
            Angkutan roda dua dan empat antrian panjang menunggu pergantian lampu lalu lintas. Para pedagang kaki lima, dan pejalan kakipun tak pernah sepi melewati jalan ini. Tak kalah bersaing juga baliho para bakal calon (Balon) gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati menghiasi jalan ini. Suasana Jalan Soekarno menjadi sempurna dibalik keramaian menampilkan sisi kota yang penuh dengan pelbagai macam orang dengan kehidupannya masing-masing.
            Pada trotoar ruas kiri Jalan Soekarno seorang pria mengenakan kemeja putih berkotak-kotak dipadu dengan celana kain hitam yang tampak kusam. Flores Pos yang sedang melewati ruas jalan itu dengan santun mendekat sambil membuka pembicaraan dengan dirinya. Raut wajahnya dengan setengah senyum mengulurkan tangannya sambil memberi salam kepada Flores Pos dengan agak tergesa.
            Flores Pos memperkenalkan diri dan meminta waktu untuk berbincang-bincang bersamanya. Wajah Pria setengah tua ini terlihat kusam, lantaran tak pernah absen di bawah terik matahari perempatan lampu merah Jalan Soekarno. Pria setengah tua dengan nama lengkap Syafrudin Yusuf sangat terperanjak dan senyum lebar ketika diminta Flores Pos untuk berbincang-bincang denganya. Flores Pos hanya bergumam tanya tentang maksud apa dibalik senyum kusam Pria yang akrab disapa dengan nama Rudin. Pria yang bernama Syafrudin ini sudah berkeluarga dan memilki 5 orang anak, saat ini berdomisili Jalan Perwira Kelurahan Kota Raja, Kecamatan Ende Utara.
            Pria yang diperkirakan berumur 50 puluh-an tahun ini mengaku tidak mengetahui kapan dirinya lahir, lantaran orang tua meninggal saat masih kecil. Berjuang tanpa orang tua bagi Syafrudin merupakan hal yang luar biasa. “Saya tidak tau kapan saya lahir pak, saya hanya bisa memprediksikan tangal, bulan dan tahun lahir saya. Orang tua meninggal saat saya masih kecil, jadi saya tidak tahu kapan saya dilahirkan, namun saya sangat bersyukur karena bisa menikmati hidup seperti ini, dengan talenta yang saya miliki,” ungkap Syafrudin  yang hanya mengenyam pendidikan di SD kelas 2.
            Sangat disayangkan nasib Syafrudin, namun baginya asal muasal kapan dirinya dilahirkan dan pendidikan yang minim bukanlah tantangan baginya untuk berjuang memaknai hidup yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Syafrudin mengaku bahwa dirinya hanya mengenyam pendidikan di kelas 2 SD, tidak pernah berkecil hati ataupun merasa malu bila sehari-hari ia hanya menggeluti profesinya sebagai tukang sol sepatu.  Apapun pekerjaan yang digeluti oleh setiap manusia mesti disyukuri dengan hati yang dalam. Pekerjaan apa saja bila disyukuri dengan hati yang dalam, apapun kesulitannya kita akan selalu bahagia.
            Istri dari Arjuna Dauh ini mengaku tidak pernah malu dengan pekerjaannya. Dirinya memulai kariernya sebagai tukang sol sepatu sejak tahun 1992, tanpa ada yang mengajarinya tentang bagaimana sol sepatu. Dirinya belajar otodidak. Berkat ketekunannya dirinya ia menjadi profesional dan sudah 25 tahun menjalani profesi dengan penuh semangat. Pekerjaan inilah yang menghidupi keluarga Syafrudin dan membiayai sekolah 5 anaknya. Syafrudin Yusuf sangat berharap walaupun berprofesi sebagai tukang sol sepatu dengan penghasilan yang pas-pasan, anak-anaknya mesti memperoleh pendidikan yang layak hinggandi tingkat SMA agar bisa lebih baik daripadanya dirinya. Dengan komitmen seperti itulah Syafrudin mengajarkan sikap kerja keras dan tekun berjuang bagi anak-anaknya.
       “Meskipun profesi saya seperti ini, dengan penghasilan yang pas-pasan saya sangat mengharapkan agar anak-anak saya memperoleh pendidikan yang layak hingga di tingkat SMA dan masa depan mereka lebih baik dari saya. Melalui pekerjaan ini, saya mengajarkan kepada anak-anak saya untuk selalu kerja keras dan tekun berjuang untuk meraih masa depan yang lebih baik,” katanya.
            Keramaian di perempatan Jalan Soekarno sangat tidak menarik simpatiknya untuk berlama-lama memandang keramaian kota itu. Tangannya begitu piawai menempelkan lem dan menjahit sepatu-sepatu yang diantar oleh pemilik-pemilik tak dikenal. Sesekali mengangkat wajah memandang keramaian sekitar atau melayani mereka yang ingin mengantar atau mengambil sepatunya dan  kembali menunduk.
            Sehari-hari mulai pukul 08:00-12:30 dirinya menduduki tempat yang sama di ruas Jalan Soekarno di bawah tenda biru berukuran 1x2 ditopang dua tiang kayu dan tembok pagar sebagai peneduh pada siang dan sore hari. Rambutnya yang terlihat mulai beruban, dengan terus terang menyampaikan kepada Flores Pos bahwa pada jam12:30 harus beristirahat dan makan di rumahnya di Lorong Situs Bung Karno. Ketika ditanya Flores Pos mengapa lebih memilih untuk makan siang di rumah bukan di warung. Di bawah terik matahari kota Ende pria ini seakan mengguncang Flores Pos dengan penjelasannya yang begitu sederhana tanpa retorika, namun sarat makna. Pria ini mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa menikmati makanan yang nikmat di warung sendirian sedangkan anak dan istri makan apa adanya di rumah. Pria ini menggungkapkan dengan raut wajah dan nada sesal seakan-akan dirinya telah melakukan sebuah kesalahan.
            “Pak, saya tidak bisa makan di warung dengan makanan yang enak, sedangkan istri dan anak saya tidak makan seperti apa yang saya makan. Ini sulit bagi saya untuk melakukannya. meskipun makanan di rumah apa adanya, saya bersama istri dan anak-anak harus menikmati dalam kebersamaan dan kesederhanaan kami. Sebagai kepala keluarga, saya tidak tega pak makan di warung sendirian,” katanya nada kesal. 
            Dalam sebuah proses internalisasi yang mendalam pria sederhana ini mengingatkan akan peran seorang ayah yang begitu luar biasa terhadap keluarganya. Bergembira dalam kesederhanaan dan kekurangan adalah kebahagiaan yang tak mungkin dialami semua keluarga. Selain mengingatkan akan peran seorang ayah yang luar biasa juga mengandaikan kehidupan bersama dalam komunitas di mana saja terkadang dengan seteganya tidak memperdulikan sesama yang berkekurangan.  Berfoya-foya di tengah kekurangan sesama yang membutuhkan bantuan kita.
            Prinsip hidup dapat mengubah watak dan tingkah laku sesorang. Prinsip hidup yang jelas dalam diri setiap manusia berdampak pada pola hidup yang bermoral dan bermartabat. Kesetiaan dan ketekunan bagi sebagian orang merupakan hal biasa, namun bagi Safrudin Yusuf bukanlah hal yang biasa.
            Sejenak merefleksikan prinsip hidup Safrudin Yusuf tentang kesetiaan dan ketekunan yang terungkap dalam setiap perkataanya penulis meminjam ungkapan Harold Taylor yang mengatakan bahwa“Akar dari Prestasi sejati terletak pada kehendak atau keinginan untuk menjadi yang terbaik yang dapat anda lakukan”. Ungkapan ini teridentifikasi dalam hidup dan perjuangan Safrudin yang sehari-hari tak pernah absen di ruas Jalan Soekarno Ende. Sesungguhnya kehendak dan keinginan yang kuat dalam dirinyalah yang selalu menginspirasinya untuk setia dan tekun dalam pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu.
            Ketekunan dan kesetiaan tidak saja terletak pada jabatan atau kekuasaan besar yang diemban, namun ketekunan dan kesetiaan terletak pada sejauh mana kita terdorong untuk melakukan hal-hal kecil apa saja yang bisa kita lakukan. Tugas dan peran sekecil apapun yang diemban mestinya memotifasi setiap manusia untuk setia dan tekun pada tugas dan peran tersebut. Itulah ketekunan dan kesetiaan yang mutlak.
            Ketekunan dan kesetiaan yang mutlak mestinya tidak menunggu hingga mengemban suatu tugas atau kekuasaan yang besar, tetapi harus dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Ketekunan dan kesetiaan seringkali menjadi persoalan besar yang dihadapi oleh manusia pada umumnya, karena itu perlu adanya revolusi mental dalam diri secara terus-menerus. Dengan revolusi mental manusia akan mengalami renaisans (kelahiran baru) dalam mengemban tugas dan profesinya masing-masing.
            Ini pula yang terkandung dalam teater “Kursi Retak” karya Pater Johan Wadu, SVD. Pesan yang terkandung dalam teater Kursi Retak tentang simbol tugas dan peran setiap manusia dengan profesi masing-masing yang mulai retak karena kesetiaan dan ketekunan yang langgeng. Tugas dan peran itu mulai dari pejabat, pemimpin agama, guru, mahasiswa, hingga pengamen dan pedagang kaki lima. Karena itu setiap manusia mestinya menyadari tugas dan perannya sehingga  dapat dilakukan dengan penuh kesetiaan dan ketekunan agar kursi yang retak itu patah. Jika kursi peran kita masing-masing patah, maka yang terjadi adalah kita bukan saja kehilangan profesi, tetapi akan kehilangan hidup.(Flores Pos, Kolom feature ed. 6 Juli 2017, hlm 1)***

No comments